create your own banner at mybannermaker.com!

Rabu, 02 Februari 2011

MELANGGAR SUMPAH SURAT AL-MAIDAH AYAT 89

A. Tafsir Surat Al-Maidah ayat 89

Allah SWT berfirman :

لا يُؤَاخِذُكُمُ اللَّهُ بِاللَّغْوِ فِي أَيْمَانِكُمْ وَلَكِنْ يُؤَاخِذُكُمْ بِمَا عَقَّدْتُمُ الأيْمَانَ فَكَفَّارَتُهُ إِطْعَامُ عَشَرَةِ مَسَاكِينَ مِنْ أَوْسَطِ مَا تُطْعِمُونَ أَهْلِيكُمْ أَوْ كِسْوَتُهُمْ أَوْ تَحْرِيرُ رَقَبَةٍ فَمَنْ لَمْ يَجِدْ فَصِيَامُ ثَلاثَةِ أَيَّامٍ ذَلِكَ كَفَّارَةُ أَيْمَانِكُمْ إِذَا حَلَفْتُمْ وَاحْفَظُوا أَيْمَانَكُمْ كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ لَكُمْ آيَاتِهِ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ (٨٩)

Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpahmu yang tidak dimaksud (untuk bersumpah), tetapi Dia menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpah yang kamu sengaja, Maka kaffarat (melanggar) sumpah itu, ialah memberi Makan sepuluh orang miskin, Yaitu dari makanan yang biasa kamu berikan kepada keluargamu, atau memberi pakaian kepada mereka atau memerdekakan seorang budak. barang siapa tidak sanggup melakukan yang demikian, Maka kaffaratnya puasa selama tiga hari. yang demikian itu adalah kaffarat sumpah-sumpahmu bila kamu bersumpah (dan kamu langgar). dan jagalah sumpahmu. Demikianlah Allah menerangkan kepadamu hukum-hukum-Nya agar kamu bersyukur (kepada-Nya). [Qs. Al-Maidah (5) : 89-90].

Sebab Turunnya Ayat 89:

Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir daripada Ibnu Abbas (ra) katanya: Ketika turun ayat 87 Surah Al-Maidah - (Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu haramkan apa-apa yang baik yang telah Allah halalkan bagi kamu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas) - lalu kaum yang dulunya telah mengharamkan ke atas diri mereka menggauli isteri-isteri mereka dan mengharamkan ke atas diri mereka dari makan daging, mereka bertanya: "Ya Rasulullah, apakah yang kami patut lakukan terhadap sumpah-sumpah yang telah kami ucapkan itu?" Maka turunlah ayat Al-Maaidah 5:89.


Tafsiran Ayat:

Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpah kamu yang tidak dimaksud (untuk bersumpah)

Maksudnya: Allah tidak akan menghukum kamu disebabkan sumpah yang kamu ucapkan sedangkan kamu tidak bermaksud bersumpah. Seperti kata seseorang yang tidak bermaksud sumpah: "Tidak, demi Allah" ; "Memang betul, demi Allah". Kata-kata sumpah yang tidak bermaksud sumpah seperti ini tidak ada hukumannya, iaitu di dunia tidak perlu dikaffarat, dan di akhirat tidak akan disiksa oleh Allah.

Tetapi Dia menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpah yang kamu sengaja

Maksudnya: Tetapi Allah akan menghukum kamu jika sumpah yang kamu ucapkan itu benar-benar dengan maksud sumpah dan kamu bertekad akan melaksanakannya, lalu kamu langgar ketetapan sumpah itu.


Maka kaffarat (melanggar) sumpah ialah memberi makan sepuluh orang miskin, iaitu dari makanan yang biasa kamu berikan kepada keluargamu, atau memberi pakaian kepada mereka atau memerdekakan seorang budak

Maksudnya: Jika sumpah tersebut dilanggar atau bercadang untuk melanggarnya, maka orang yang bersumpah itu mestilah membayar kaffarat sebagaimana berikut:

1. Memberi makan sepuluh orang miskin. Ukuran makanan tersebut ialah seperti makanan yang biasa kita berikan kepada keluarga kita. Tidak memadai jika lebih rendah mutunya atau kadarnya dan jangan pula berlebih-lebihan seperti jamuan Hari Raya. Menurut Imam Abu Hanifah: Juga boleh kalau memberi makan untuk seorang miskin selama 10 hari.

2. Memberi pakaian sepuluh orang miskin. Keadaan pakaian berbeda-beda menurut negeri masing-masing. Oleh itu, kebiasaan (‘urf) dalam masyarakat, bolehlah dijadikan sebagai ukuran. Umpamanya: Seluar dengan kemeja, sarung dengan baju kurung dan sebagainya.

3. Memerdekakan seorang hamba sahaya. Para Fuqahaa berbeda pendapat tentang hamba (budak). Imam Malik, Syafi’I dan Ahmad mensyaratkan budak tersebut mestilah beriman. Sedangkan Abu Hanifah berkata: Memadai walaupun budak itu kafir.

Catatan: Ketiga-tiga jenis kaffarat di atas tidak diwajibkan tertib tetapi kita bebas memilih salah satu daripadanya. Tetapi yang afdhal ialah jika dimulai dari bawah, iaitu memerdekakan seorang hamba atau memberi pakaian sepuluh orang miskin atau memberi mereka makan. (Lihat hadis di bawah).

Barangsiapa tidak sanggup melakukan yang demikian, maka kaffaratnya puasa selama tiga hari.

Maksudnya: Barangsiapa tidak sanggup melakukan salah satu daripada tiga jenis kaffarat di atas maka diwajibkan ke atasnya berpuasa selama tiga hari berturut-turut.

Ibnu Mardawiyah meriwayatkan dari Ibnu Abbas (ra) katanya: Ketika ayat kaffarat di atas diturunkan, Huzaifah bertanya: "Ya Rasulullah, kami diperbolehkan memilih?". Jawab Rasulullah s.a.w: “Kamu boleh memilih, jika kamu merdekakan seorang hamba, jika kamu mahu berikan pakaian, jika kamu mahu berikan makanan. Dan bagi yang tidak memperolehinya, maka wajib ke atasnya puasa selama tiga hari berturut-turut”.
Yang demikian itu adalah kaffarat sumpah-sumpahmu bila kamu bersumpah (dan kamu langgar). Dan jagalah sumpahmu.

Maksudnya: Demikianlah kaffarat sumpahmu, jika kamu bersumpah dengan nama Allah atau dengan salah satu daripada Nama-namaNya, lalu kamu langgar atau bercadang hendak melanggarnya. Dan peliharalah sumpahmu, janganlah ia digunakan dalam perkara yang remeh-remeh dan janganlah banyak bersumpah, lebih-lebih lagi jika sumpah tersebut mengandungi unsur-unsur dusta. Jika kamu telah bersumpah, jangan kamu lupakan sumpahmu itu. Dan jangan kamu langgar sumpah itu kecuali kerana darurat ataupun jika ada kemaslahatan yang nyata di balik pelanggaran itu.
Demikianlah Allah menerangkan kepadamu hukum-hukumNya agar kamu bersyukur (kepadaNya).

Maksudnya: Demikianlah Allah menerangkan hukum-hakam agamaNya dan selok-belok syariatNya supaya kamu dapat mensyukuri nikmat-nikmatNya dengan cara yang disukai dan diredhaiNya. Dan selanjutnya berhak mendapat tambahan kurnia dan ihsan daripadaNya.

  • Yamin atau sumpah menurut bahasa dan istilah syar’i :

Yamien atau sumpah asalnya menurut bahasa adalah tangan tangan lawan dari [tangan] kiri, dan dari arti tangan juga berarti adalah kekuatan. Oleh karena itu, anggota badan yang terkenal itu, yaitu [tangan kanan] dinamakan dengan “Al-Yamien” karena terdapat padanya kekuatannya [badan], sebagaimana firman Allah SWT :

وَلَوْ تَقَوَّلَ عَلَيْنَا بَعْضَ الأَقَاوِيلِ (44) لأَخَذْنَا مِنْهُ بِالْيَمِينِ (45(

“Seandainya dia [Muhammad] mengada-adakan sebagian perkataan atas [nama] kami, niscaya benar-benar kami pegang dia pada tangan kanannya.” [Qs. Al-Haqah (69) : 44-45]. [1]

Kemudian yamien disebut juga sumpah, karena mereka apabila bersumpah masing-masing pihak [orang] yang bersumpah dari mereka memegang tangan kanan temannya, artinya saling berjabatan tangan dengan tangan kanannya untuk memperkuat apa yang mereka akadkan, dari sini sumpah [qosam] disebut juga yamien karena menggunakan tangan kanan dalam bersumpah.

Sebab lain, mengenai sumpah disebut yamien, yaitu karena orang yang bersumpah saling memperkuat dengan tangan kanannya terhadap apa yang benar-benar dikehendakinya, untuk melakukannya atau meninggalkannya.

Yamien atau sumpah dikenal menurut istilah syar’i, bahwasannya memperkokoh sesuatu dengan menyebut nama dari nama-nama Allah SWT, atau sifat dari sifat-sifat-Nya.

Yamien atau sumpah menurut bahasa adalah kekuatan dan menurut istilah syar’i adalah ibarat [ungkapan] mengenai akad yang diperkuat dengan sumpah itu keinginan orang yang bersumpah terhadap apa yang dilakukannya atau ditinggalkannya, contohnya dari yang ingin dilakukannya : Jika saya tidak masuk rumah .[2]

.Penjelasan mengenai disyariatkannya yamien atau sumpah.

Dasar disyariatkannya yamien atau sumpah adalah firman Allah SWT :

لاَ يُؤَاخِذُكُمُ اللَّهُ بِاللَّغْوِ فِي أَيْمَانِكُمْ وَلَـكِن يُؤَاخِذُكُم بِمَا عَقَّدتُّمُ الأَيْمَانَ (89(

“Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpahmu yang tidak dimaksud [untuk bersumpah], tetapi Dia menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpah yang kamu sengaja”. [Qs. Al-Maidah (5) : 89]. Dan juga firman-Nya :

وَلاَ تَنقُضُواْ الأَيْمَانَ بَعْدَ تَوْكِيدِهَا (91(

“Dan janganlah kamu membatalkan sumpah-sumpah[mu] itu, setelah meneguhkannya.” [Qs. An-Nahl (16) : 91].

  • Apakah sumpah itu dimakruhkan?

Sebagian ulama mengatakan, bahwa sumpah-sumpah itu semuanya adalah makruh, dan dimakruhkannya itu secara mutlak, sebagaimana firman Allah SWT وَلاَ تَجْعَلُواْ اللَّهَ عُرْضَةً لِّأَيْمَانِكُمْ (224(

“Dan janganlah kamu jadikan [nama] Allah dalam sumpahmu sebagai penghalang”. [Qs. Al-Baqarah (2) : 224].

Namun pendapat ini dibantah dengan perbuatan Nabi SAW, bahwasannya beliau pernah bersumpah, dan di antara sumpah Nabi SAW yang pernah dilakukannya adalah : “Wahai umat Muhammad, demi Allah jika seandainya kalian mengetahui apa yang aku ketahui sungguh niscaya kalian akan banyak menangis dan sedikit tertawa”. [HR. bukhari].

Jika seandainya benar sumpah itu dimakruhkan, niscaya Nabi SAW dahulu adalah orang yang paling menjauhi dari sumpah [orang yang paling menghindari untuk tidak melakukan sumpah]. Dan karena sumpah itu dengan menyebut “Billahi” tentu ini adalah sebagai pengagungan bagi Allah SWT, maka jelas dalam hal ini pahala bagi orang yang bersumpah. Adapun mengenai firman Allah SWT :

وَلاَ تَجْعَلُواْ اللَّهَ عُرْضَةً لِّأَيْمَانِكُمْ

“Dan janganlah kamu jadikan [nama] Allah dalam sumpahmu sebagai penghalang”. Itu maksudnya : Janganlah kalian menjadikan sumpah-sumpah kalian dengan menyebut nama Allah ["Billahi"], untuk melarang kalian berbuat kebaikan, ketakwaan, perbaikan [ishlah] di antara manusia, yaitu bersumpah dengan menyebut [nama] Allah SWT untuk tidak berbuat kebaikan, ketakwaan, perdamaian, kemudian menolak terhadap apa yang telah dinyatakan untuk berbuat baik dalam sumpahnya dan juga tidak mau membatalkannya dalam sumpahnya, maka datang ayat melarang untuk berbuat yang demikian.[3]

  • Berlebih-lebihan dalam sumpah itu adalah dimakruhkan :

Kalau begitu sumpah berarti disyariatkan dan dibolehkan berdasarkan dalil-dalilnya sebagaimana telah kami sebutkan sebelumnya, dan tidak dimakruhkan, akan tetapi sumpah yang dimakruhkan itu adalah sumpah yang dilakukan secara berlebih-lebihan, sebagaimana ditunjukan dalam firman Allah SWT berikut ini :

وَلا تُطِعْ كُلَّ حَلاَّفٍ مَّهِينٍ (10(

“Dan janganlah kamu ikuti setiap orang yang banyak bersumpah lagi hina.” [Qs. Al-Qalam (68) : 10].

Sumpah seperti ini [yang disebutkan dalam ayat] yang tercela yang makruh untuk dilakukan, namun jika tidak sampai melampau batas berlebih-lebihan [ifrath] dalam bersumpah, maka tentu tidak dimaqkruhkan sumpah itu.[4]

B. Hukum sumpah dari segi tuntutan untuk dilakukan atau ditinggalkannya

Sumpah dilihat dari segi tuntutan Syar’i [Allah SWT] terhadap sumpah itu atau larangan, atau pembolehan-Nya, terbagi ke dalam lima bagian atau lima jenis, yaitu : Sumpah Wajib, Sumpah Mandub, Sumpah Haram, Makruh dan Sumpah Mubah.

1. Sumpah Wajib :

Sumpah ini adalah sumpah yang dilakukan sebagi jalan untuk membebaskan kema’suman darah dari kehancuran dan bahaya, meskipun digunakan dalam sumpahnya at-tauriyah, dalil yang menunjukannya adalah: Hadits Suwaid bin Handhalah, ia berkata : “Kita keluar ingin bertemu Rasulullah SAW dan bersama kita Wail bin Hujrin, ia ditangkap oleh orang yang memusuhinya, orang-orang [kaum] menekankan untuk bersumpah, maka aku bersumpah, bahwa Wail itu adalah saudaraku akhirnya Wail dilepaskan, kemudian kita mendatangi Rasul SAW dan memberitahunya apa yang baru saja terjadi, bahwa suatu kaum menekannya uintuk bersumpah lalu aku bersumpah bahwa Wail adalah saudaraku, maka Rasul SAW berkata : Benar kamu, orang muslim itu saudaranya muslim”.[5]

2. Sumpah Mandub [yang dianjurkan] :

Yaitu sumpah yang berhubungan dengan kemaslahatan, dari mendamaikan antara dua orang yang bertikai, atau menghilangkan rasa dengki dari hati seorang muslim terhadap kedengkian, atau yang lainnya, atau menahan suatu kejahatan. Ini adalah jenis sumpah yang mandub [yang dianjurkan], karena mengerjakan hal-hal itu adalah sesuatu yang dianjurkan, maka sumpahnyapun mandub.[6]

3. Sumpah Haram :

Yaitu sumpah dusta, Allah SWT mencelanya dengan firman-Nya :

وَيَحْلِفُونَ عَلَى الْكَذِبِ وَهُمْ يَعْلَمُونَ (14(

“Dan mereka bersumpah untuk menguatkan kebohongan, sedangkan mereka mengetahui”. [Qs. Al-Mujadilah (58) : 14]. Karena dusta itu haram, apabila digunakan dalam sumpah [Al-Mahluf 'Alaih], maka akan lebih dahsyat dalam pengharamannya.[7]

  • Pengecualian dari sumpah haram :

Kadang-kadang dusta dibolehkan atau bahkan diwajibkan pada beberapa kondisi, yakni apabila dusta dipastikan dapat dijadikan jalan untuk membebaskan dari pembunuhan secara dhalim. Sebagaimana jika ada orang yang bersembunyi dan ia tidak bersalah, dan bersembunyi pada seseorang yang tahu bahwa dia tidak bersalah, apabila ada seseorang yang dhalim menanyakan tentang orang itu dan mau membunuhnya, maka boleh bagi orang yang rumahnya dijadikan tempat persembunyiannya untuk mengingkari keberadaannya di rumahnya, walaupun sebenarnya orang yang dicari itu ada di rumahnya, dan ini adalah pengingkaran dusta.

Namun demikian perbuatan dusta semacam itu diizinkan dan dibolehkan secara syar’i, bahkan diwajibkan karena dalam dusta itu terdapat penyelamatan orang yang tidak berdosa dari pembunuhan. Apabila dusta dibolehkan terhadap sesuatu dan bahkan diwajibkan, maka dibolehkan dan bahkan diwajibkan pula bersumpah terhadap sesuatu itu. Kapan dusta itu menjadi boleh atau bahkan wajib, telah kami beri contoh dengan suatu contoh yang diambil dari perkataan syeikh Al-’Izz ibnu Abdus-Salam, beliau Rahimahullah mengatakan : Dusta itu merusak dan haram kecuali dalam dusta itu mendatangkan kemaslahatan dan menolak kerusakan, maka kadang-kadang dibolehkan bahkan diwajibkan.

Contohnya : Seseorang merasa khawatir terhadap seseorang yang bersembunyi di rumahnya itu sedang dicari oleh orang dhalim yang mau memotong tangannya kemudian menanyakannya tentang orang itu, lalu ia menjawab : Saya tidak tahu, padahal ada orang yang ditanyakannya itu di dalam rumahnya. Dusta semacam ini lebih utama dari kejujuran karena terdapat di dalamnya kemaslahatan yaitu melindungi anggota badan yang lebih besar dari kemaslahatan kejujuran yang tidak membahayakan dan juga tidak bermanfaat.[8]

Diqiyaskan terhadap apa yang dikatakan ibnu Abdus-Salam, bersumpah dusta dalam rangka membebaskan seorang perempuan dari orang yang berbuat kejahatan kepadanya, kemudian perempuan itu bersembunyi di rumah seseorang, lalu orang itu bersumpah saat ditanya tentang perempuan itu dan mengatakannya, bahwasannya ia tidak ada di rumahnya dalam rangka untuk membebaskannya dari orang yang akan menemuinya dan ingin berbuat jahat kepadanya.

4. Sumpah Makruh : Yaitu sumpah terhadap perbuatan makruh atau meninggalkan perbuatan yang mandub [yang dianjurkan], Allah SWT berfirman :

وَلاَ تَجْعَلُواْ اللَّهَ عُرْضَةً لِّأَيْمَانِكُمْ أَن تَبَرُّواْ وَتَتَّقُواْ وَتُصْلِحُواْ بَيْنَ النَّاسِ……….. (224(

“Janganlah kamu jadikan [nama] Allah dalam sumpahmu sebagai penghalang untuk berbuat kebajikan, bertakwa dan mengadakan ishlah di antara manusia”. [Qs. Al-Baqarah (2) : 224]. Artinya janganlah kalian menjadikan [nama] Allah dalam sumpah kalian sebagai penolak di antara kalian untuk berbuat kebajikan, yang berupa kebaikan, ketakwaan dan ishlah di antara manusia, dengan kalian bersumpah dengan nama-Nya dalam rangka untuk meninggalkan amal-amal kebajikan padahal dengan meninggalkannya berarti meninggalkan pengagungan terhadap nama-Nya. Termasuk sumpah yang dimakruhkan adalah sumpah dalam jual beli, nabi SAW bersabda : “Sumpah itu melariskan barang dagangan tapi menghilangkan kebarokahan”. [HR. ibnu Majah].[9]




5. Sumpah Mubah

Yaitu sumpah terhadap perbuatan yang mubah atau meninggalkannya, atau sumpah terhadap berita tentang sesuatu yang dapat dipercaya atau diduga dapat dipercaya.[10]

  • Syarat-syarat orang yang bersumpah[11] :

Disyaratkan pada orang yang bersumpah adalah harus dewasa [baligh] dan berakal, baik laki-laki maupun perempuan, dan harus sengaja melakukan sumpah atas dasar kehendak sendiri tanpa adanya paksaan. Tidak sah dan tidak berlaku sumpah dari seorang anak kecil atau orang gila dan orang yang sedang tidur, berdasarkan hadits yang mulia, Rasulullah SAW bersabda : “Diangkat pulpen dari tiga perkara : Dari anak kecil hingga dewasa [baligh], dari orang gila hingga sadar dan orang tidur hingga bangun dari tidurnya”. Demikian juga tidak sah sumpahnya orang yang mabuk, karena orang yang mabuk hilang akalnya, maka menjadi seperti orang yang gila, ini adalah pendapat madzhab Adh-Dhahiri dan ulama-ulama yang sependapat dengannya.

  • Sumpah orang yang dipaksa[12] :

Tidak sah dan tidak berlaku sumpahnya orang yang dipaksa, ini adalah pendapat Hanabilah dan Adh-Dhahiriyyah, dan termasuk pendapatnya madzhab imam Malik dan Asy-Syafi’i Rahimahumallahu Ta’ala. namun menurut imam Abu Hanifah Rahimahullahu Ta’ala, mengatakan : Sah dan berlaku sumpahnya seorang yang dipaksa karena sumpah orang yang dipaksa adalah sumpahnya orang mukallaf, maka sumpahnya berlaku sebagaimana sumpahnya orang yang melakukannya dengan kehendak sendiri tanpa ada paksaan.

Hujjah jumhur fuqaha untuk menguatkan pendapatnya adalah hadits yang disebutkan oleh pengarang kitab “Al-Mughni” imam ibnu Qudamah Al-Hambali dan pengarang kitab “Al-Muhadzdzab” Al-Faqih Asy-Syirozi Asy-Syafi’i, yaitu hadits yang diriwayatkan Abu Umamah dan Wail bin Al-asqa’ bahwa Rasul SAW bersabda : “Tidak sah sumpah atas orang yang dipaksa”. Karena sumpah orang yang dipaksa tidak timbul dari dirinya berdasarkan kehendak sendiri, melainkan dibebankan untuk bersumpah dengan cara yang tidak benar [dipaksakan], maka tidak sah sumpahnya sebagaimana kalau dipaksakan untuk mengucapkan kata-kata kafir.

Demikian pula Adh-Dhahiriyyah yang bsependapat jumhur, berhujjah dengan bahwa ucapan seorang yang dipaksa, yaitu sesuatu yang dipaksakan atas dirinya, sesunguhnya ia mengucapkan lafadh yang diperintahkan kepadanya untuk diucapkan dengan paksaan, maka tidak ada masalah bagi orang yang mengucapkannya itu. Dan juga hadits Nabi SAW yang berbunyi :“Sesungguhnya amal-amal itu tergantung dengan niat-niatnya, dan sesungguhnya demikian pula setiap orang tergantung dari apa yang diniatkannya”, menunjukan bahwa orang yang dipaksa atas suatu perkataan [untuk mengatakannya] yang tidak ia maksudkan dan niatkan sesuai dengan yang dimaksud dan diniatkan

  • Sumpah seorang perempuan :

Sumpah seorang perempuan berlaku dan sah selama ia sudah dewasa [baligh] dan berakal [bukan anak-anak], imam Ibnu Hazm Rahimahullahu Ta’ala menegaskan mengenai hal itu dan mengatakan : Laki-laki dan perempuan, orang-orang merdeka atau para hamba sahaya, wanita-wanita yang sudah menikah, gadis-gadisnya dan yang lainnya, pada masing-masing yang kami telah sebutkan dan yang akan kami sebutkan adalah sama, karena Allah SWT berfirman :

ذَلِكَ كَفَّارَةُ أَيْمَانِكُمْ إِذَا حَلَفْتُمْ

“Yang demikian itu adalah kafarat sumpah-sumpahmu bila kamu bersumpah [dan kamu langgar]“.

Dan Allah SWT berfirman :

وَلَـكِن يُؤَاخِذُكُم بِمَا عَقَّدتُّمُ الأَيْمَانَ

“Tetapi Dia menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpah yang kamu sengaja”.[13]

  • Sumpah harus dengan Allah SWT dan tidak boleh dengan yang lain-Nya :

Rasulullah SAW bersabda : “Dan ingatlah, sesungguhnya Allah melarang kalian untuk bersumpah dengan bapak-bapak kalian, barangssiapa yang bersumpah maka bersumpahlah dengan [nama] Allah atau diam”. [HR. Bukhari dan Muslim].

Ulama telah sepakat bahwa sumpah selain dengan Allah dilarang dan tidak diperbolehkan, seperti sumpah dengan para malaikat, nabi-nabi, bapak-bapak, ka’bah dan lain sebagainya. Bantahan dalam larangan terhadap sumpah dengan selain Allah, bahwa sumpah dengan sesuatu mengandung pengagungan terhadap sesuatu itu, dan pengagungan pada hakekatnya hanyalah bagi Allah semata-mata. Barangsiapa bersumpah dengan selain Allah, maka sungguh ia telah mengagungkan selain Allah dengan pengagungan yang menyamai pengagungannya terhadap Rabb SWT, dan ini tidak diperbolehkan.karena syirik. Disebut syirik karena telah menyekutukan Allah SWT dengan selain Allah dalam pengagungannya dengan melakukan sumaph selain dengan Allah SWT, sebagaimana diperkuat hadits yang mulia yang diriwayatkan oleh imam At-Tirmidzi : “Barangsiapa bersumpah selain dengan Allah, maka ia sungguh telah menjadi kafir atau syirik” [HR. At-Tirmidzi].

Ungkapan Nabi SAW dengan sabdanya : “Maka ia sungguh telah menjadi kafir atau syirik” ini adalah untuk mubalaghah [hal melebih-lebihkan] dalam masalah larangan dan tekanan, karena sebenarnya syirik ini adalah syirik kecil yang tidak mengeluarkan pelakunya dari Islam, sebagaimana pendapat jumhur. Namun demikian, sesungguhnya sumpah dengan selain Allah adalah merupakan kemaksiatan [dosa] yang sangat besar [di antara dosa-dosa yang paling besar lainnya selain syirik], sehingga Rasul SAW menyebutnya dengan sebutan kafir dan syirik. Walaupun ulama tetap mengatakan bahwa bersumpah dengan selain Allah adalah syirik yang tidak mengeluarkan pelakunya dari Islam.[14]

C. Sumpah-sumpah dalam Al-Qur’an:

Mengenai sumpah-sumpah yang ada dalam Al-Qur’an Al-Karim dari sumpah-sumpah dengan selain Allah SWT, jawabannya dari dua sisi, yaitu :


1. Sesungguhnya dalam sumpah itu ada yang disembunyikan, yang kalimat sempurnanya, seperti ini : “Demi Rabb matahari dan waktu dluha” [cahayanya di pagi hari], dalam firman-Nya :

وَالشَّمْسِ وَضُحَاهَا (1) وَالْقَمَرِ إِذَا تَلاهَا (2) وَالنَّهَارِ إِذَا جَلاَّهَا (3) وَاللَّيْلِ إِذَا يَغْشَاهَا (4) وَالسَّمَاء وَمَا بَنَاهَا (5) وَالأَرْضِ وَمَا طَحَاهَا (6) وَنَفْسٍ وَمَا سَوَّاهَا (7(

“Demi matahari dan cahayanya di pagi hari. Dan bulan apabila mengelilingi. Dan siang apabila menampakannya. Dan malam apabila menutupinya. Dan langit serta pembinaannya. Dan bumi serta penghamparannya. Dan jiwa serta penyempurnaannya”. [Qs. Asy-Syamsu (91) : 1-7]


2. Sesungguhnya jenis sumpah ini, yakni sumpah dengan makhluk-makhluk adalah merupakan sumpah khusus bagi Allah SWT. Bagi Allah SWT bisa bersumpah dengan apa saja yang dikehendakinya dari makhluk-makhluk-Nya, untuk mengingatkan mulianya makhluk-makhluk yang dipakai dalam sumpah itu, atau untuk mengalihkan pandangan kepada apa yang ada pada makhluk-Nya itu sebagai hikmah dan petunjuk atas kekuasaan Allah SWT.

Sumpah-sumpah yang dapat mengikuti atau menyertai sumpah dengan Allah SWT : Bisa mengikuti atau menyertai sumpah dengan Allah SWT dilihat dari segi pembolehannya, yaitu sumpah dengan nama dari nama-nama-Nya atau sifat dari sifat-sifat-Nya, seperti : Biizatullah, bi’adhamatullah. Demikian juga boleh bersumpah dengan bihaqqillah, bihaqqil Qur’an, atau bersumpah dengan Al-Qur’an atau dengan ayat-ayat dari Al-Qur’an, atau sumpah dengan mushaf atau dengan kalamullah. .Demikian juga dibolehkan sumpah dengan aimullah [demi Allah] dan laamrullah, ahdullah. Demikian juga boleh bersumpah dengan Al-Ahdu dan Al-Mitsaq, seperti perkataan seseorang : Alayya ahdullahi wamitsaqihi laafalanna kadza.[16]

  • Sumpah dengan keluar dari Islam[17] :

Sumpah ini, seperti seseorang mengatakan : Dia Yahudi atau Nashrani atau Majusi jika berbuat begini-begini, atau dia terbebas dari Islam jika berbuat begini. Sumpah ini sah dan berlaku dan wajib membayar kafarat jika dilanggarnya, pendapat ini diriwayatkan juga dari Atha, Thawus, Hasan Al-Bashri, Sya’bi Sofyan Ats-Tsauri, Al-Auza’i, Ishak bin Rahawaih, imam Abu Hanifah dan sahabat-sahabatnya, dan ini salah satu riwayat dari imam Ahmad bin Hambal. Riwayat lain dari imam Ahmad, mengatakan : Bahwa itu bukanlah sumpah, maka tidak wajib kafarat, ini adalah pendapat imam Malik, Asy-Syafi’i, Abu Tsaur dan ibnu Mundzir. Karena sumpah itu tidak dengan nama Allah dan juga tidak dengan sifat-Nya, maka tidak mengharuskannya membayar kafarat. Pendapat ini dikuatkan .oleh imam ibnu Qudamah Al-Maqdisi Al-Hambali.

  • Sumpah dengan yang haram atau mengharamkan [18] :

Sumpah dengan yang haram atau diharamkan, yaitu seseorang mengatakan : Ini haram bagi saya jika saya berbuat begini, atau mengharamkan, seperti mengatakan : Apa yang Allah halalkan bagi saya haram jika saya berbuat begini, dan lain sebagainya. Menurut Said bin Jubair, beliau mengatakan tentang orang yang mengatakan : Yang halal itu haram bagi saya, sumpah ini sah dan berlaku serta wajib membayar kafarat jika dilanggarnya. Pendapat ini juga menjadi pendapat madzhab Al-Hanabilah, yang juga diriwayatkan dari ibnu Mas’ud, Hasan al-bashri, Jabir bin Zaid, Qatadah, ishak dan ulama-ulama Irak.

Namun menurut pendapat imam Malik dan Syafi’i, itu bukan-lah sumpah dan tidak ada apa-apanya [tidak ada kafarat] jika dilanggarnya, karena dia dengan sumpah ini bermaksud merubah yang disyariatkan, maka tidak dianggap sumpah dengan maksudnya dan juga dengan perkataannya.

Hujjah Hanabilah untuk mendukung pendapatnya dengan firman Allah SWT :

َ أَيُّهَا النَّبِيُّ لِمَ تُحَرِّمُ مَا أَحَلَّ اللَّهُ لَكَ تَبْتَغِي مَرْضَاتَ أَزْوَاجِكَ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَّحِيمٌ (1) قَدْ فَرَضَ اللَّهُ لَكُمْ تَحِلَّةَ أَيْمَانِكُمْ وَاللَّهُ مَوْلاكُمْ وَهُوَ الْعَلِيمُ الْحَكِيمُ (2(

“Hai Nabi, mengapa kamu mengharamkan apa yang Allah menghalalkannya bagimu, kamu mencari kesenangan hati istri-istrimu? Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Sesungguhnya Allah telah mewajibkan kepada kamu sekalian membebaskan diri dari sumpahmu…….” [Qs. At-Tahrim (64) : 1-2]. Sasaran dalil dengan ayat yang mulia itu, adalah bahwa Allah SWT menyebut mengharamkan [tahrim] apa yang Allah menghalalkannya adalah sumpah dan mewajibkan kepadanya untuk membayar kafarat.

D. Shighat [lafadh] yamin atau sumpah menggunakan huruf-huruf sumpah[19] :

Cara bersumpah biasanya menggunakan huruf-huruf sumpah [qasam], yaitu : Al-Baau [Ba], Al-Wawu [Wa] dan At-Taau [Ta], seperti perkataan seseorang : [ "Billahi, Wallahi Tallahi sungguh saya akan berbuat begini…….."]

Dalam Al-Qur’anul Karim disebutkan sumpah dengan huruf-huruf tersebut, seperti Firman Allah SWT :

تَالله تَفْتَأُ تَذْكُرُ يُوسُفَ (85(

“Demi Allah, senantiasa kamu mengingati Yusuf”. [Qs. Yusuf (12) : 85].

Allah SWT berfirman :

وَيَسْتَنبِئُونَكَ أَحَقٌّ هُوَ قُلْ إِي وَرَبِّي إِنَّهُ لَحَقٌّ وَمَا أَنتُمْ بِمُعْجِزِينَ (53(

“Dan mereka menanyakan kepadamu, “Benarkah [adzab yang dijanjikan] itu? Katakanlah : Ya demi Rabbku, sesungguhnya adzab itu adalah benar dan kamu sekali-kali tidak luput [dari padanya].” [Qs. Yunus (10) : 53].

Allah SWT berfirman :

وَأَقْسَمُوا بِاللَّهِ جَهْدَ أَيْمَانِهِمْ (53(

“Dan mereka bersumpah dengan nama Allah sekuat-kuat sumpah”. [Qsw. An-Nur (24) : 53].

Seandainya mengatakan : Saya bersumpah atau bersaksi dengan [nama] Allah, semua itu adalah sumpah, baik niat bersumpah atau tidak niat bersumpah. Disebutkan dalam Al-Qur’an sumpah dengan sighat semacam itu, seperti dalam surat An-nur: di atas dan surat Al-Maidah (5) : 107, Allah SWT berfirman :

فَيُقْسِمَانِ بِاللَّهِ (107(

“Lalu keduanya bersumpah dengan nama Allah”.

Adapun apabila seseorang mengatakan : A’azamu billah, jika bermaksud sumpah, maka itu menjadi sumpah, tapi jika niat dengan perkataannya itu bukan sumpah maka tidak menjadi sumpah. Jika disebutkan namun tidak berniat sesuatupun berdasarkan dhahirnya pendapat Al-khiraqi Al-Hambali itu adalah sumpah, tapi imam Syafii mengatakan : Itu bukan sumpah.

Jika seseorang mengatakan ; Aqsamu, atau halaftu, atau syahadtu atau alaitu laafalanna kdza-kadza [Saya bersumpah atau bersaksi sungguh saya akan berbuat begini-begini….] tidak mengatakan billahi [demi Allah], dari imam Ahmad ada dua riwayat ;

  • Sesungguhnya itu adalah sumpah, baik niat bersumpah atau tidak, diriwayatkan hal yang serupa dari ibnu Abbas, Ibrohim An-Nakho’i, Sofyan Ats-Tsauri dan Abu Hanifah.
  • Apabila niat sumpah dengan Allah, maka itu adalah sumpah, tapi kalau tidak maka itu bukan sumpah, ini adalah pendapat imam Malik, Ishak dan ibnu Mundzir.Imam Syafi’i mengatakan : Bahwa itu bukan sumpah walaupun niat sumpah, karena lepas tidak menyebut nama Allah dan sifat-Nya, maka itu bukanlah yamin atau sumpah, pendapat ini juga menjadi pendapat fuqaha dalam madzhab Adh-Dhahiri.

Barangsiapa menganggap sighat [lafadh] ini : Qasamtu atau halaftu [aku bersumpah] tanpa menyebut nama Allah, sebagai sumpah, berhujjah dengan bahwa lafadh itu sudah ditetapkan menjadi kebiasaan syar’i dan biasa digunakan, seperti yang ditunjukan : Bahwa Abu Bakar Ash-Shiddiq RA berkata kepada Rasulullah SAW : “Qasamtu alaika ya Rasulullah litukhbironi bima ashabtu mimma akhtho’tu, faqolan-Nabi SAW laa tuqsim ya Aba Bakrin”, yang artinya “Saya bersumpah kepadamu wahai Rasulullah untuk memberitahu saya yang benar dari yang salah dari pekerjaan saya, maka Nabi SAW berkata : Jangan bersumpah wahai Abu Bakar”[20] dalam Al-qur’an Allah SWT berfirman :

إِذَا جَاءكَ الْمُنَافِقُونَ قَالُوا نَشْهَدُ إِنَّكَ لَرَسُولُ اللَّهِ وَاللَّهُ يَعْلَمُ إِنَّكَ لَرَسُولُهُ وَاللَّهُ يَشْهَدُ إِنَّ الْمُنَافِقِينَ لَكَاذِبُونَ (1) اتَّخَذُوا أَيْمَانَهُمْ جُنَّةً…………….. (2(

“Apabila orang-orang munafiq datang kepadamu, mereka berkata : Kami mengakui bahwa sesungguhnya kamu benar-benar Rasul Allah. Dan Allah mengetahui bahwa sesungguhnya kamu benar-benar Rasul-Nya, dan Allah mengetahui bahwa sesungguhnya orang-orang munafiq itu benar-benar orang pendusta. Mereka itu menjadikan sumpah mereka sebagai perisai [tameng]“. [Qs. Al-Munafiqun (63) : 1-2].

E. Sighat-sighat [Lafadh-lafadh] yang dianggap bukan sebagai sumpah

Jika seseorang mengatakan : A’azamu atau ‘azamtu, maka lafadh-lafadh itu tidak bisa dianggap sebagai sumpah, karena lafadh-lafadh itu dianggap belum menjadi kebiasaan syar’i dan juga tidak biasa digunakan, bahwa yang dimaksud dengan lafadh-lafadh itu adalah sumpah.[21]

  • Istitsna pada shighat yamin atau sumpah[22] :

Apabila mengecualikan dalam sumpahnya, seperti mengatakan dengan shighat sumpahnya : Insya Allah, yakni jika mau mengerjakan apa yang telah ia disumpahkan dan jika tidak mau tidak mengerjakannya, maka tidak ada kafarat baginya, dengan syarat pengecualiannya [al-istitsna] bersambung dengan sumpahnya, dimana antara keduanya tidak ada perkataan lain, atau diam yang memungkinkan terjadi adanya perkataan lain, ini adalah pendapat Imam Malik, Syafi’i, Hanabilah, sofyan Ats-Tsauri, abu Hanifah dan dua sahabaatnya dan yang lainnya.

Sebagaimana disyaratkan agar istitsna diucapkan dengan lisan orang yang bersumpah, tidak cukup istitsna diucapkan dalam hati sebagaimana pendapat

Dalil yang menunjukan bahwa istitsna menolak terlaksananya yamin atau sumpah adalah hadits Rasulullah SAW, dari Abu Hurairoh, beliau berkata : Berkata Rasulullah SAW :“Barangsiapa bersumpah, kemudian berkata : Insya Allah, maka tidak melanggar”. [HR. Ahmad]. Dari ibnu Umar, bahwa Rasulullah SAW bersabda : “barangsiapa bersumpah, kemudian berkta : Insya Allah, maka tidak ada pelanggaran baginya”. [HR. At-Tirmidzi].

F. Hukum yamien atau sumpah

Pengaruh-pengaruh yang berdampak pada yamien atau sumpah.

  • Macam-macam yamien atau sumpah dari sisi pengaruhnya :

Yamin atau sumpah dari sisi pengaruh-pengaruhnya yang berdampak pada sumpah itu, bermacam-macam :

  1. Al-Yamin Al-Mun’aqadah[23] dan Hukumnya :

Yamien atau sumpah al-mun’aqadah adalah sumpah [yamien] dengan nama dari nama-nama Allah SWT atau sifat dari sifat-sifat-Nya atau sumpah dengan apa yang boleh untuk bersumpah dan dianggap sebagai sumpahnya orng-orang muslim.

  • Penepatan terhadap sumpah dan pelanggarannya :

Penepatan terhadap sumpah, yaitu melakukan sesuatu yang dikehendaki orang yang bersumpah untuk mengerjakannya agar menjadi dengan pekerjaannya itu dapat menepati sumpahnya, artinya orang yang bersumpah mengerjakan sesuatu yang ia telah sumpahkan atas sesuatu itu. Pelanggaran dalam sumpah atau yamien yaitu pembantalannya dan tidak mengerjakan dengan apa yang menjadi kewajiban dan konsekwensinya. Seperti umpamanya dikatakan : Melanggar dalam sumpahnya, ini artinya tidak melakukan tuntutan sumpahnya, yaitu tidak mengerjakan apa yang telah ia sumpahkan atas sesuatu itu.[24]

  • Hukum penepatan terhadap sumpah dan pelanggarannya :

Apabila sumpah mun’aqadah untuk mengerjakan yang wajib atau meninggalkan perbuatan yang haram, maka penepatan terhadap sumpah adalah menjadi wajib dan pelanggaran terhadapnya menjadi haram, karena meninggalkan yang wajib dan mengerjakan yang haram adalah tidak boleh.

Apabila yamien atau sumpah untuk mengerjakan sesuatu yang mandub [yang dianjurkan] atau meninggalkan sesuatu yang dimakruhkan, maka penepatan terhadap sumpah itu juga adalah menjadi mandub dan pelanggaran terhadapnya juga menjadi makruh. Apabila sumpah untuk mengerjakan sesuatu yang mubah, maka penepatan terhadap sumpah itu juga adalah menjadi mubah demikian juga pelanggaran terhadapnya adalah mubah juga.

Apabila sumpah untuk mengerjakan sesuatu yang makruh atau meninggalkan sesuatu yang mandub [yang dianjurkan], maka penepatan terhadap sumpah itu adalah menjadi makruh juga, demikian juga pelanggaran terhadapnya adalah mandub. Dalam sebuah hadits yang mulia Rasulullah SAW bersabda : “Apabila kamu bersumpah atas suatu sumpah dan kamu melihat yang lain lebih baik dari sumpahmu itu maka lakukanlah yang lebih baik dan bayarlah kafarat dari sumpahmu itu”. [HR. At-Tirmidzi].

  • Berulang-ulang melakukan sumpah dan apa yang dituntut jika melanggar dalam sumpahnya.[25]

Kalau seandainya berulang-ulang bersumpah atas satu perkara, seperti mengatakan : Demi Allah saya sungguh mau berbuat begini, Demi Allah saya sungguh mau berbuat begini atau bersumpah dengan hal-hal yang sah dipakai untuk bersumpah, seperti seseorang mengatakan : Demi Allah, demi Al-Qur’an dan demi keagungan wajah Allah, sungguh saya mau berbuat begini, kemudian melanggar dalam sumpahnya, maka tidak ada baginya kecuali satu kafarat saja.

  • Bersumpah dengan satu sumpah atas banyak hal yang berbeda-beda :

Apabila bersumpah dengan satu sumpah atau hal yang berbeda-beda, seperti mengatakan : Demi Allah saya mau makan, tidak mau minum, dan juga tidak mau berpakaian kemudian melanggar pada semua yang telah disumpahkannya itu, maka tidak ada kafarat baginya kecuali hanya satu kafarat saja dan tidak ada perbedaan di antara fuqaha dalam masalah ini, sebagaimana dikatakan oleh imam ibnu Qudamah Al-Hambali, karena yamien atau sumpahnya satu dan pelanggarannyapun juga satu dan sesungguhnya dikerjakan dengan satu perbuatan [dari Al-mahluf 'Alaihi][26] kemudian dilanggar maka terbebas dari yamien atau sumpah, akan tetapi jika bersumpah dengan berbagai sumpah atas berbagai macam hal yang berbeda-beda, seperti seseorang mengatakan : Demi Allah saya tidak mau makan, demi Allah saya tidak mau minum, dan demi Allah saya tidak mau memakai pakaian, lalu melanggar pada salah satu sumpahnya itu maka wajib baginya kafarah, jika kafarat telah dibayarkan lalu melanggar pada sumpah yang lainnya juga, maka baginya wajib kafarat yang lain, tidak ada perbedaan pendapat pada masalah ini. Jika melanggar pada semua sumpahnya sebelum membayar kafarat maka baginya wajib membayar kafarat pada setiap sumpahnya, ini adalah pendapat mayoritas ahlul ilmi, dan salah satu diriwayatkan dari imam Ahmad. Riwayat lain dari imam ahmad, membolehkan hanya dengan satu kafarat dari berbagai banyak macam sumpah yang dilakukannya. Namun imam ibnu Qudamah Al-Hambali telah menguatkan pendapat riwayat yang pertama dari imam Ahmad, yaitu yang wajib membayar kafarat baginya setiap sumpahnya.[27]

Apakah wajib kafarat atas orang yang lupa dalam sumpahnya?[28]

Barangsiapa yang bersumpah untuk tidak melakukan sesuatu kemudian melakukannya karena lupa, maka tidak ada kafarat baginya, mengamalkan firman Allah SWT :

وَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ فِيمَا أَخْطَأْتُم بِهِ وَلَكِن مَّا تَعَمَّدَتْ قُلُوبُكُمْ (5(

Dan tidak ada dosa atasmu terhadap apa yang kamu lupa [khilaf] padanya, tetapi [yang ada dosanya] apa yang sengaja oleh hatimu”. [Qs. Al-ahzab (33) : 5], dan berdasarkan sabda nabi SAW : “Sesungguhnya Allah memaafkan bagi umatku karena kesalahan, lupa dan karena dipaksa”. [HR. ibnu Majah, Ath-Thabroni dan al-Hakim, dan lihat : al-Jami' Ash-Shagier milik imam As-Suyuthi, juz I, halaman 228].

Karena orang yang lupa tidak sengaja untuk melakukan pelanggaran, maka dianggap tidak melanggar, sebagaimana orang yang sedang tidur dan orang gila, maka seperti orang yang lupa tidak ada kewajiban membayar kafarat baginya.dari pelanggaran sumpahnya. Dan barangsiapa yang melanggar sumpahnya karena tidak tahu [bodoh] dengan apa yang ia lakukan dalam sumpahnya, seperti orang yang bersumpah untuk tidak mengajak berbicara kepada seseorang lalu mengajaknya berbicara karena menyangka bahwasannya dia adalah orang asing yang bukan termasuk tidak boleh diajak berbicara, maka yang demikian tidak ada kewajiban membayar kafarat baginya, karena dia sama dalam hukum orang yang lupa. [29]

  • Apakah wajib membayar kafarat atas orang yang dipaksa bersumpah.[30]

Barangsiapa melanggar sumpahnya atas dasar karena ditekan dan dipaksa, seperti orang yang bersumpah untuk tidak masuk rumah si fulan kemudian dibawa dan dimasukan secara paksa dan ditekan, maka yang demikian tidak termasuk pelanggaran dalam sumpahnya dan tidak ada kafarat baginya. Jika seandainya dipaksa dengan pukulan yang keras dan diancam mau dibunuh untuk melakukan pelanggaran dengan sumpahnya, maka ia melanggar sumpahnya tapi tidak ada kafarat baginya, mengamalkan sabda Nabi SAW : “Sesungguhnya Allah SWT memaafkan bagi umatku karena kesalahan, lupa dan karena dipaksa”. [HR. ibnu Majah, Ath-Thabroni dan Al-Hakim].[31]

  • Apa itu kafarat yang wajib dikeluarkan terhadap pelanggaran dalam sumpah :

Kami katakan bahwa pelanggaran terhadap sumpah mun’aqadah sesungguhnya mewajibkan kafarat, dan apa kafaratnya itu serta apa dalil yang mewajibkan kafarat ? jawabnya atas pertanyaan itu, dalil yang mewajibkannya, penjelasan apa itu kafaratnya dan jenis-jenisnya, semuanya itu ada dalam firman Allah SWT :

لاَ يُؤَاخِذُكُمُ اللَّهُ بِاللَّغْوِ فِي أَيْمَانِكُمْ وَلَـكِن يُؤَاخِذُكُم بِمَا عَقَّدتُّمُ الأَيْمَانَ فَكَفَّارَتُهُ إِطْعَامُ عَشَرَةِ مَسَاكِينَ مِنْ أَوْسَطِ مَا تُطْعِمُونَ أَهْلِيكُمْ أَوْ كِسْوَتُهُمْ أَوْ تَحْرِيرُ رَقَبَةٍ فَمَن لَّمْ يَجِدْ فَصِيَامُ ثَلاَثَةِ أَيَّامٍ ذَلِكَ كَفَّارَةُ أَيْمَانِكُمْ إِذَا حَلَفْتُمْ وَاحْفَظُواْ أَيْمَانَكُمْ كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ لَكُمْ آيَاتِهِ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ (89(

“Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpahmu yang tidak dimaksud [untuk bersumpah], tetapi Dia menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpah yang kamu sengaja, maka kafarat [melanggar] sumpah itu, ialah memberi makan sepuluh orang miskin, yaitu dari makanan yang biasa kamu berikan kepada keluargamu, atau memberi pakaian kepada mereka atau memerdekakan seorang budak. Barangsiapa tidak sanggup melakukan yang demikian, maka kafaratnya puasa selama tiga hari. Yang demikian itu adalah kafarat sumpah-sumpahmu bila kamu bersumpah [dan kamu langgar]. Dan jagalah sumpahmu. Demikianlah Allah menerangkan kepadamu hukum-hukum-Nya agar kamu bersyukur [kepada-Nya]“. [Qs. Al-Maidah (5) ; 89]. Sedang dari As-Sunnah adalah hadits-hadits yang mulia yang telah kami sebutkan sebelumnya yang menyebutkan wajibnya kafarat dalam pelanggaran sumpah..

  • Pilihan dalam kafarat terhadap pelanggaran sumpah :

Ahlul ilmi telah sepakat bahwa atas orang yang melanggar dalam sumpahnya adalah untuk memilih kafaratnya : Jika menghendaki memberi makanan kepada sepuluh orang miskin silahkan, demikian juga jika menghendaki memberi pakaian diperbolehkan, dan jika menghendaki memerdekakan seorang hamba sahaya juga dibenarkan, artinya kalau mau memilih di antara pilihan-pilihan itu dari macam-macam kafarat itu diperbolehkan, karena Allah SWT mengathafkan [menghubungkan] sebagian terhadap sebagian yang dari dari kafarat-kafarat itu dengan menggunakan huruf “AW” itu adalah menunjukan untuk memilh, barangsiapa tidak mendapatkan salah satu dari jenis-jenis kafarat itu, maka baginya untuk berpuasa selama tiga hari.[32]

  • Jenis Pertama dari kafarat : Pemberian makanan :

Pemberian makanan di sini adalah pemberian makanan kepada sepuluh orang miskin berdasarkan ketentuan Allah SWT atas jumlah mereka, disyaratkan pada mereka adalah harus orang-orang miskin atau orang-orang fakir, karena oarang-orang fakir adalah orang-orang miskin yang lebih miskin lagi, dan harus orang-orang muslim yang merdeka, dan ini menurut pendapat fuqaha Hanabilah. Sedangkan menurut pendapat Abu Tsaurimam Abu Hanifah serta sahabat-sahabatnya, boleh diberikan kepada orang-orang dzimmi jika mereka adalah orang-orang faqir karena mereka termasuk penduduk Darul Islam. Jika orang fakir itu adalah anak kecil yang belum makan makanan, maka dibolehkan diberikan kepadanya dan walinya yang menerima dan menyimpannya menurut pendapat mayoritas ahlul ilmi dan riwayat dari imam Ahmad.

Dan makanan yang diberikan adalah makanan yang pertengahan [tidak terlalu jelek atau terlalu baik] yang diberikan kepada keluarganya. Dari ibnu Umar, sebagaimana diriwayatkan imam Ahmad dan disebutkan ibnu Qudamah di dalam kitabnya Al-Mughni : Bahwa yang dimaksud dengan firman Allah SWT :

مِنْ أَوْسَطِ مَا تُطْعِمُونَ أَهْلِيكُمْ

“Yaitu dari makanan yang biasa kamu berikan kepada keluargamu”.

Yaitu roti dan susu, dalam riwayat yang lain yang dimaksud aadalah roti dan kurma atau roti dan keju atau roti dan daging,[33] yang kalau di kita adalah yang biasa kita makan berupa nasi, sayur dan lauk-pauknya yang tidak terlalu mewah tapi yang biasa dimakan oleh keluarganya sehari-hari.

Imam Al-Qurtubi mengatakan dalam tafsirnya : Seorang laki-laki harus mengeluarkan apa yang biasa dimakannya. Diriwayatkan dari Ali bin Abi Thalib RA tidak boleh hanya memberi makan satu kali makan tidak memberi pada waktu-waktu yang lain, yaitu memberi makan hanya pada waktu pagi saja, tidak memberinya pada waktu siang dan sore [malam], hingga memberinya pagi, siang dan sore, dan berkata Abu Amru : ini adalah pendapat imam-imam fatwa.[34]

  • Apakah boleh membayar kafarat dengan mengeluarkan harganya?

Menurut pendapat Hanabilah, imam Malik dan imam Asy-Syafii : Tidak boleh membayar kafarat dengan mengeluarkan harganya, yaitu harga makanan atau pakaian, namun menurut pendapat imam Al-Auza’i dan ashabur-ra’yi [imam Abu Hanifah dan sahabat-sahabatnya] membolehkan membayar kafarat dengan mengeluarkan harganya, karena yang dimaksud dengan membayar kafarat adalah memberikan hajat orang miskin dan maksud itu tercapai dengan mengeluarkan harganya.[35]

  • Apakah dibolehkan membayar kafarat kepada satu orang miskin ?

Apabila ada sepuluh orang miskin maka wajib kafarat itu dibagikan di antara mereka, jika tidak didapatkan jumlah itu dan hanya ada satu orang miskin saja, Al-Hanabilah dan Asy-syafi’iyyah mengatakan : Boleh diberikan kepada satu orang miskin dengan memberikan kepadanya berulang-ulang sampai sepuluh hari, menurut imam Al-auza’i, membolehkan memberikannya kepada satu orang miskin sekaligus, dan menurut Al-Hanafiyyah membolehkan memberikannya berulang-ulang setiap hari kepada orang miskin selama sepuluh hari, dan tidak boleh diberikannya kepadanya dalam satu hari. Jika memberi makanan itu kepada seorang miskin tiap hari hingga menyempurnakan sepuluh orang miskin maka hal itu dibolehkan tanpa ada perbedaan pendapat di antara fuqaha.

  • Membayar kafarat kepada saudara-saudara terdekat :

Dibolehkan membayar kafarat kepada saudara-saudara terdekat yang dibolehkan membayar zakat kepda mereka, ini adalah pendapat Al-Hanabilah dan imam Asy-Syafi’i,imam ibnu Qudamah mengatakan : Kami tidak mengetahui dalam masalah ini adanya perbedaan.[36]. dan

  • Jenis Kedua dari kafarat :

Pemberian pakaian untuk laki-laki atau perempuan.[37] Tidak ada perbedaan di antara fuqaha mengenai bahwa pemberian pakaian itu adalah merupakan salah satu dari jenis-jenis kafarat karena melanggar sumpah, berdasarkan ketentuan Allah SWT atas hal tersebut di dalam kitab-Nya yang mulia :

أَوْ كِسْوَتُهُمْ

“Atau memberi pakaian kepada mereka”.

Dan tidak dibolehkan pemberian pakaian kurang dari pemberian untuk sepuluh orang, sebagaimana disebutkan ayat yang mulia itu. Dan ukuran pakaian yang bisa untuk shalat. Apabila memberi pakaian kepda perempuan maka pakaian itu yang dapat menutupi aurotnya dan bisa dipakai untuk shalat, jika memberinya kain yang luas yang dapat menutup seluruh tubuh dan kepalanya hal itu juga dibolehkan.

Apabila memberi pakaian kepda seorang laki-laki maka dibolehkan pakaian berupa baju panjang atau tsaub yang dapat menutupi aurotnya atau dua pakaian yang salah satunya sarung dan yang lainnya berupa baju dan tidak boleh memberinya hanya satu sarung saja atau satu celana.

Dan dibolehkan memberi pakaian kepada mereka dari semua golongan jenis bahan pakaian, seperti dari katun, wol, bulu, kain lena dan lain sebagainya, karena Allah SWT memerintahkan untuk memberi pakaian kepada mereka tanpa menentukan jenis bahan pakaiannya. Jenis apa saja pakaian yang diberikan kepada mereka maka telah keluar dari tanggungan. Dan yang boleh diberi pakaian adalah mereka yang boleh diberi makanan.

  • Jenis Ketiga dari kafarat : Memerdekakan hamba sahaya.[38]

Dan yang dimaksud dengan memerdekakan hamba sahaya adalah hamba sahaya laki-laki atau perempuan, dan hamba sahaya yang dimaksud untuk dimerdekakannya hamba sahaya yang beriman, ini pendapat fuqaha Al-Hanabilah, imam Malik, As-Syafii dan Abu Ubaid. Riwayat lain dari imam Ahmad, bahwa hamba sahaya dzimmi dibolehkan, ini pendapat Atha bin Abi Rabah, Abu Tsaur, Abu Hanifah dan sahabat-sahabatnya, berdasarkan firman Allah SWT :

أَوْ تَحْرِيرُ رَقَبَةٍ

“Atau memerdekakan seorang hamba sahaya”

Memerdekakan hamba sahaya dalam ayat sifatnya mutlak, tidak menetapkan hamba sahaya tertentu maka termasuk hamba sahaya yang boleh dimerdekakan adalah seorang hamba sahaya kafir [dzimmi]. Dan boleh hamba sahaya yang dimerdekakannya itu adalah hamba sahaya anak-anak kecil laki-laki dan perempuan, dan tidak syaratkan pada kedua hamba sahaya kecil itu usia tamyiuz [yang dapat membedakan antara baik dan buruk] selama keduanya dari anak-anak muslim.

  • Jenis Keempat dari kafarat : Puasa [Shaum] :

Barangsiapa tidak mendapatkan untuk memberi makanan, memberi pakaian dan juga tidak mendapatkan untuk memerdekakan hamba sahaya, maka berpindah ke mengerjakan puasa tiga hari, ini tidak ada perbedaan pendapat di kalangan ulama, hanya saja dalam mensyaratkan harus berturut-turut dalam mengerjakan puasa ada perbedaan pendapat. Menurut dhahirnya madzhab Al-Hanabilah disyaratkan dalam mengerjakan puasa harus berturut-turut, dan ini termasuk pendapat Ibrohim An-Nakho’i, sofyan Ats-Tsauri, Abu Hanifah dan sahabat-sahabatnya. Tapi menurut pendapat imam Malik, Asy-Syafii pada salah satu pendapatnya dan salah satu riwayat dari imam Ahmad, tidak mensyaratkan dalam mengerjakan puasa harus tiga hari berturut-turut.[39] Jika kita katakan dalam mengerjakan puasa harus berturut-turut, bagaimana wanita yang berbuka karena sakit atau haid, atau seorang laki-laki yang berbuka karena sakit yang demikian menurut pendapat fuqaha Al-Hanabilah, Abu Tsaur dan Ishak bin Rahawaih tidak memutuskan berturut-turutnya.[40]

  • Al-Yamin ghairul Mun’aqadah [tidak layak dan tidak berlaku] dan Hukumnya ;

Yamin ghairul mun’aqadah ada dua macam, yaitu :

a.. Yamien atau sumpah dengan nama makhluk yaitu bersumpah dengan selain Allah SWT seperti bersumpah dengan thaghut, atau bersumpah dengan bapaknya, atau dengan ka’bah dan selain dengan itu dari para makhluk. Sumpah ini tidak layak dan tidak berlaku.

b. yaitu yamien atau sumpah yang dilakukan seseorang untuk selain Allah SWT, seperti seseorang mengatakan : jika saya berbuat begini maka untuk selain si anu begini. Hukum sumpah ghairul mun’aqadah [yang tidak layak dan tidak berlaku] dengan dua macam sumpahnya tidak ada kafarat bila dilanggar dalam dua macam sumpah itu berdasarkan kesepakatan ulama dan sumpah itu dilarang untuk dilakukan, bagi pelakunya tidak perlu membayar kafarat dan hanya diwajibkan untuk bertaubat kepada Allah SWT dari sumpah tersebut, sebagaimana telah ditetapkan dalam hadits shahih, bahwa Nabi SAW bersabda : “Barangsiapa bersumpah dan berkata dalam sumpahnya : Lata dan uza, maka hendaknya mengatakan : Laa ilaaha Illallah”.

2. Laghwul Yamin dan Hukumnya :

Di dalam kitab Al-Nihayah milik ibnu Atsir, bahwa makna dari laghwul yamien [sumpah yang tidak disengaja hatinya], yaitu seperti seseorang mengatakan : Tidak, demi Allah, ya demi Allah dan hatinya tidak seperti apa yang diakadkannya, dan katanya : Sumpah yang dilakukan seseorang karena lupa atau lalai, dan katanya : Sumpah dalam keadaan marah, dan juga katanya dalam keadaan main-main.[41]

Imam Al-Qurtubi mengatakan dalam tafsirnya tentang Laghwul Yamien, [sumpah yang tidak disengaja] berkata ibnu Abbas RA : Yaitu ucapan seseorang yang tergesah-gesah dalam ucapannya itu : Tidak, demi Allah, ya demi Allah tanpa maksud bersumpah. Imam Al-maruzi mengatakan : Laghwul yamien yaitu sumpah yang disepakati ulama bahwa itu sumpah yang tidak disengaja, yaitu perkataan seseorang : Demi Allah, ya demi Allah dalam perkataannya itu padahal perkataannya itu tidak bermaksud untuk bersupah, dan tidak lebih dari itu. Dalam shahih Al-bukhari dari Aisyah RA, ia berkata : turun firman Allah SWT :

لاَ يُؤَاخِذُكُمُ اللَّهُ بِاللَّغْوِ فِي أَيْمَانِكُمْ

“Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpahmu yang tidak dimaksud [untuk bersumpah], tetapi Dia menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpah yang kamu sengaja” , pada perkataan seorang laki-laki : Tidak, demi Allah, ya demi Allah, dan katanya : sumpah laghwu itu adalah sumpah yang dilakukan atas dasar dugaan dan yang terjadi justru sebaliknya, ini adalah pendapat imam Malik, seperti yang diceritakan ibnul Qasim dari beliau, dan pendapat jama’ah dari salaf.[42]

  • Pembatasan maksud dengan laghwul yamien dalam syariat :

Kita ringkas apa yang telah kita jelaskan sebelumnya, bahwa laghwul yamien itu ada dua macam :

1. Apa yang keluar dari lisan seseorang berupa lafadh sumpah pada saat berbicara tanpa maksud bersumpah, seperti perkataannya : Tidak, demi Allah, ya demi Allah, ini yang dinukil dari Aisyah RA dan sebagai tafsiran Aisyah terhadap firman Allah SWT dalam surat Al-Baqarah 225, yang telah disebutkan sebelumnya, dari hal yang sama juga dinukil dari ibnu Abbas RA, yang kemudian menjadi pendapat ahlul ilmi.

2. Yaitu sumpah atas sesuatu, yang bersumpah menduganya sebagaimana ia lakukan dalam sumpah ternyata berbeda dengan apa yang ia duga, pendapat [ini mengenai pengertian laghwul yamien] juga menjadi pendapat mayoritas ahlul ilmi, sebagaimana disebutkan dalam kitab Al-Mughni.[43] Hukum laghwul yamin : Tidak ada kafarat bagi pelakunya apabila melanggar berdasarkan firman Allah SWT :

لاَ يُؤَاخِذُكُمُ اللَّهُ بِاللَّغْوِ فِي أَيْمَانِكُمْ وَلَـكِن يُؤَاخِذُكُم بِمَا عَقَّدتُّمُ الأَيْمَانَ

“Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpahmu yang tidak dimaksud [untuk bersumpah], tetapi Dia menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpah yang kamu sengaja”.


Referensi:

[1] . DR. Abdul Karim Zaidan, Al-mufashal Fi Ahkamil Mar’ah Wal baitil Muslim Fisy-Syariah al-Islamiyah, dalam “Pengertian yamien atau sumpah dan perjelasan dalil-dalil disyariatkanya” juz II, hal. 391, Muassasah Ar-Risalah, cet. I, tahun 1413/H-1993/M, Beirut-Libanono. Dan lihat An-Nihayah milik ibnu Atsir, juz I, halaman 425, dan juz II, hal. 302, dan lihat : Al-mu’jam Al-Wasith juz II, hal. 1080, dan lihat : Syarah Al-Aeni lishahihil Bukhari, juz 23, hal. 163, dan lihat juga : Syarah Al-Asqalani lishahihil Bukhari, juz XI, hal. 516 dan juz IX, hal. 362, dan lihat Thulibatul thulibah fil Ishtilahatil Fiqhiyyah milik An-Nisfi, hal. 66, dan lilhat : Mughnil Muhtaj fi fiqhi Asy-Syafi’iyyah, juz IV, hal. 320, dan lihat Ad-Durul Mukhtar Warodul Mukhtar, juz III , hal. 702-703.

[2] .Ibid.

[3] . Abu Abdullah Muhammad Abdullah bin Ahmad bin Muhammad bin Qudamah, Al-Mughni alaa mukhtashar Abil Qasimumar bin Husein bin Abdullah bin ahmad Al-Khiraqi, najis-najis yang keluar dari dua jalan [depan dan belakang], jilid VIII, hal.679, ditashih oleh DR. Muhammad Khalil Harras, ustadz di fakultas ushuluddin, Al-Azhar, kairo-Mesir.

[4] . DR. Abdul Karim Zaidan, Al-mufashal Fi Ahkamil Mar’ah Wal baitil Muslim Fisy-Syariah al-Islamiyah, dalam “Berlebih-lebihan dalam sumpahitu adalah dimakruhkan” juz II, hal. 393, Muassasah Ar-Risalah, cet. I, tahun 1413/H-1993/M, Beirut-Libanono.

[5] . DR. Abdul Karim Zaidan, Al-mufashal Fi Ahkamil Mar’ah Wal baitil Muslim Fisy-Syariah Al-Islamiyah, dalam “Hukum sumpah dari segi tuntutan untuk dilakukan atau ditinggalkannya” juz II, hal. 393, Muassasah Ar-Risalah, cet. I, tahun 1413/H-1993/M, Beirut-Libanono.

[6] . Abu Abdullah Muhammad Abdullah bin Ahmad bin Muhammad bin Qudamah, Al-Mughni alaa mukhtashar Abil Qasimumar bin Husein bin Abdullah bin ahmad Al-Khiraqi, najis-najis yang keluar dari dua jalan [depan dan belakang], jilid VIII, hal.680, ditashih oleh DR. Muhammad Khalil Harras, ustadz di fakultas ushuluddin, Al-Azhar, kairo-Mesir.

8. Abu Abdullah Muhammad Abdullah bin Ahmad bin Muhammad bin Qudamah, Al-Mughni alaa mukhtashar Abil Qasimumar bin Husein bin Abdullah bin ahmad Al-Khiraqi, najis-najis yang keluar dari dua jalan [depan dan belakang], jilid VIII, hal.680, ditashih oleh DR. Muhammad Khalil Harras, ustadz di fakultas ushuluddin, Al-Azhar, kairo-Mesir.

[8] . Al-Izz ibnu Abdus-Salam, Qawaidul Ahkam fi Mashalihil Anam, juz I, halaman 106, dan lihat : DR. Abdul Karim Zaidan, Al-mufashal Fi Ahkamil Mar’ah Wal baitil Muslim Fisy-Syariah Al-Islamiyah, dalam sub judul “Pengecualian dari sumpah haram” juz II, hal. 394, Muassasah Ar-Risalah, cet. I, tahun 1413/H-1993/M, Beirut-Libanon.

[9] . Abu Abdullah Muhammad Abdullah bin Ahmad bin Muhammad bin Qudamah, Al-Mughni alaa mukhtashar Abil Qasimumar bin Husein bin Abdullah bin ahmad Al-Khiraqi, najis-najis yang keluar dari dua jalan [depan dan belakang], jilid VIII, hal.681, ditashih oleh DR. Muhammad Khalil Harras, ustadz di fakultas ushuluddin, Al-Azhar, kairo-Mesir

[10] . Abu Abdullah Muhammad Abdullah bin Ahmad bin Muhammad bin Qudamah, Al-Mughni alaa mukhtashar Abil Qasimumar bin Husein bin Abdullah bin ahmad Al-Khiraqi, najis-najis yang keluar dari dua jalan [depan dan belakang], juz II, hal.680, ditashih oleh DR. Muhammad Khalil Harras, ustadz di fakultas ushuluddin, Al-Azhar, kairo-Mesir

[11] . Abu Muhammad ali bin Ahmad bin Said bin Hazm Adh-Dhahiri Al-Andalusi, Al-Muhalla, juz VIII, hal.49, tahqieq Ahmad Muhammad Syakir, tanpa tahun Darut-Turats, Kairo-Mesir. Dan lihat : Abu Abdullah Muhammad Abdullah bin Ahmad bin Muhammad bin Qudamah, Al-Mughni alaa mukhtashar Abil Qasimumar bin Husein bin Abdullah bin ahmad Al-Khiraqi, najis-najis yang keluar dari dua jalan [depan dan belakang], jilid VIII, hal.676, ditashih oleh DR. Muhammad Khalil Harras, ustadz di fakultas ushuluddin, Al-Azhar, kairo-Mesir. Lihat : Asy-Syeikh Muhyiddin bin Syarof An-Nawawi, Kitabul Majmu’ Syarah Muhadzdzab lisy-Syirozi, juz 16, hal. 459, yang ditulis oleh Syeikh Muhammad Najib al-Muthai’i kepala bagian As-Sunnah dan Ulum Al-Hadits universitas Ummu Darman Al-Islamiyyah, maktabah Al-Irsyad, Jeddah-Kerajaan Saudi Arabia. Dan lihat juga :

[12] . Abu Muhammad ali bin Ahmad bin Said bin Hazm Adh-Dhahiri Al-Andalusi, Al-Muhalla, juz VIII, hal.349, tahqieq Ahmad Muhammad Syakir, tanpa tahun Darut-Turats, Kairo-Mesir.dan lihat : Abu Abdullah Muhammad Abdullah bin Ahmad bin Muhammad bin Qudamah, Al-Mughni alaa mukhtashar Abil Qasimumar bin Husein bin Abdullah bin ahmad Al-Khiraqi, najis-najis yang keluar dari dua jalan [depan dan belakang], jilid VIII, hal.676, ditashih oleh DR. Muhammad Khalil Harras, ustadz di fakultas ushuluddin, Al-Azhar, kairo-Mesir. Lihat : Asy-Syeikh Muhyiddin bin Syarof An-Nawawi, Kitabul Majmu’ Syarah Muhadzdzab lisy-Syirozi, juz 16, hal. 459, yang ditulis oleh Syeikh Muhammad Najib al-Muthai’i kepala bagian As-Sunnah dan Ulum Al-Hadits universitas Ummu Darman Al-Islamiyyah, maktabah Al-Irsyad, Jeddah-Kerajaan Saudi Arabia. Dan lihat juga :

[13] . Abu Muhammad ali bin Ahmad bin Said bin Hazm Adh-Dhahiri Al-Andalusi, Al-Muhalla, juz VIII, hal. 349, tahqieq Ahmad Muhammad Syakir, tanpa tahun Darut-Turats, Kairo-Mesir. DR. Abdul Karim Zaidan, Al-mufashal Fi Ahkamil Mar’ah Wal baitil Muslim Fisy-Syariah Al-Islamiyah, dalam sub judul “Sumpah seorang perempuan” juz II, hal. 398, Muassasah Ar-Risalah, cet. I, tahun 1413/H-1993/M, Beirut-Libanon.

[14] . Shahih bukhari dengan syarah ibnu Hajar Al-’Asqolani, juz 11, halaman 531, shahih Muslim dengan syarah An-Nawawi, juz 11, halaman 105, Jami’ut-Tirmidzi, juz V, halaman 135, .‘Alauddin abu Bakar bin Mas’ud Al-Kasani Al-Hanafi, Badaiush-Shana’i fi tartibisy-Syara’i, juz III, hal. 21, Kitabuth-Thaharah, darul Kutub Al-ilmiyyah, Beirut-Libanon. Dan lihat : Taisiril Azizil Hamid syarah kitabut-Tauhid karangan Syeikh Sulaeman bin Abdullah bin Muhammad bin Abdul Wahab, halaman 593. dan lihat : DR. Abdul Karim Zaidan, Al-mufashal Fi Ahkamil Mar’ah Wal baitil Muslim Fisy-Syariah Al-Islamiyah, dalam sub judul “Sumpah-sumpah dalam Al-Qur’an” juz II, hal. 400, Muassasah Ar-Risalah, cet. I, tahun 1413/H-1993/M, Beirut-Libanon.

[15] Syarah shahih Muslim milik imam An-nawawi juz 11, halaman 105, dan Nailul Authar milik imam Asy-Syaukani, juz VIII, halaman 29.

[16] . Abu Abdullah Muhammad Abdullah bin Ahmad bin Muhammad bin Qudamah, Al-Mughni alaa mukhtashar Abil Qasimumar bin Husein bin Abdullah bin ahmad Al-Khiraqi, najis-najis yang keluar dari dua jalan [depan dan belakang], jilid VIII, hal. 691-703, ditashih oleh DR. Muhammad Khalil Harras, ustadz di fakultas ushuluddin, Al-Azhar, kairo-Mesir. Dan lihat : Abu Muhammad ali bin Ahmad bin Said bin Hazm Adh-Dhahiri Al-Andalusi, Al-Muhalla, juz VIII, hal. 33, tahqieq Ahmad Muhammad Syakir, tanpa tahun Darut-Turats, Kairo-Mesir.

[17] . Abu Abdullah Muhammad Abdullah bin Ahmad bin Muhammad bin Qudamah, Al-Mughni alaa mukhtashar Abil Qasimumar bin Husein bin Abdullah bin ahmad Al-Khiraqi, najis-najis yang keluar dari dua jalan [depan dan belakang], jilid VIII, hal. 698, ditashih oleh DR. Muhammad Khalil Harras, ustadz di fakultas ushuluddin, Al-Azhar, kairo-Mesir.

[18] Abu Abdullah Muhammad Abdullah bin Ahmad bin Muhammad bin Qudamah, Al-Mughni alaa mukhtashar Abil Qasimumar bin Husein bin Abdullah bin ahmad Al-Khiraqi, najis-najis yang keluar dari dua jalan [depan dan belakang], jilid VIII, hal. 691-703, ditashih oleh DR. Muhammad Khalil Harras, ustadz di fakultas ushuluddin, Al-Azhar, kairo-Mesir.

[19] . Abu Abdullah Muhammad Abdullah bin Ahmad bin Muhammad bin Qudamah, Al-Mughni alaa mukhtashar Abil Qasimumar bin Husein bin Abdullah bin ahmad Al-Khiraqi, najis-najis yang keluar dari dua jalan [depan dan belakang], jilid VIII, hal. 6b9 dan sesudahnya, ditashih oleh DR. Muhammad Khalil Harras, ustadz di fakultas ushuluddin, Al-Azhar, kairo-Mesir.

[20] . Abu Abdullah Muhammad Abdullah bin Ahmad bin Muhammad bin Qudamah, Al-Mughni alaa mukhtashar Abil Qasimumar bin Husein bin Abdullah bin ahmad Al-Khiraqi, najis-najis yang keluar dari dua jalan [depan dan belakang], jilid VIII, hal. 702 dan sesudahnya, ditashih oleh DR. Muhammad Khalil Harras, ustadz di fakultas ushuluddin, Al-Azhar, kairo-Mesir.

[21] . Abu Abdullah Muhammad Abdullah bin Ahmad bin Muhammad bin Qudamah, Al-Mughni alaa mukhtashar Abil Qasimumar bin Husein bin Abdullah bin ahmad Al-Khiraqi, najis-najis yang keluar dari dua jalan [depan dan belakang], jilid VIII, hal. 703 dan sesudahnya, ditashih oleh DR. Muhammad Khalil Harras, ustadz di fakultas ushuluddin, Al-Azhar, kairo-Mesir.

[22]. Jamiut-Tirmidzi juz V, halaman 129-130, dan lihat : Nailul Authar milik imam Asy-Syaukani, juz VIII, halaman 219-230, dan lihat : Abu Abdullah Muhammad Abdullah bin Ahmad bin Muhammad bin Qudamah, Al-Mughni alaa mukhtashar Abil Qasimumar bin Husein bin Abdullah bin ahmad Al-Khiraqi, najis-najis yang keluar dari dua jalan [depan dan belakang], jilid VIII, hal. 715-716, ditashih oleh DR. Muhammad Khalil Harras, ustadz di fakultas ushuluddin, Al-Azhar, kairo-Mesir.

[23] . Disebut juga sebagai sumpah atas sesuatu di masa yang akan datang untuk melakukan sesuatu atau tidak melakukannya kemudian melanggar dalam sumpah itu, maka diwajibkan dalam sumpah itu membayar kafarat sebagaimana dijelaskan Al-Qur’anul Karim.

[24] . Abu Abdullah Muhammad Abdullah bin Ahmad bin Muhammad bin Qudamah, Al-Mughni alaa mukhtashar Abil Qasimumar bin Husein bin Abdullah bin ahmad Al-Khiraqi, najis-najis yang keluar dari dua jalan [depan dan belakang], jilid VIII, hal. 682-683 dan sesudahnya, ditashih oleh DR. Muhammad Khalil Harras, ustadz di fakultas ushuluddin, Al-Azhar, kairo-Mesir.

[25] . Abu Abdullah Muhammad Abdullah bin Ahmad bin Muhammad bin Qudamah, Al-Mughni alaa mukhtashar Abil Qasimumar bin Husein bin Abdullah bin ahmad Al-Khiraqi, najis-najis yang keluar dari dua jalan [depan dan belakang], jilid VIII, hal. 705, ditashih oleh DR. Muhammad Khalil Harras, ustadz di fakultas ushuluddin, Al-Azhar, kairo-Mesir.

[26] . Al-Mahluf ‘Alaihi adalah sesuatu yang disumpahkan oleh seseorang yang bersumpah dalam sumpahnya untuk dikerjakan atau ditinggalkan, lihat : DR. Abdul Karim Zaidan, Al-mufashal Fi Ahkamil Mar’ah Wal baitil Muslim Fisy-Syariah Al-Islamiyah, dalam sub judul “Al-Mahluf ‘alaihi, definisinya dan jenis-jenisnya” juz II, hal. 405, Muassasah Ar-Risalah, cet. I, tahun 1413/H-1993/M, Beirut-Libanon.

[27] . Abu Abdullah Muhammad Abdullah bin Ahmad bin Muhammad bin Qudamah, Al-Mughni alaa mukhtashar Abil Qasimumar bin Husein bin Abdullah bin ahmad Al-Khiraqi, najis-najis yang keluar dari dua jalan [depan dan belakang], jilid VIII, hal. 706-707, ditashih oleh DR. Muhammad Khalil Harras, ustadz di fakultas ushuluddin, Al-Azhar, kairo-Mesir.

[28] . Abu Muhammad ali bin Ahmad bin Said bin Hazm Adh-Dhahiri Al-Andalusi, Al-Muhalla, juz VIII, hal. 33, tahqieq Ahmad Muhammad Syakir, tanpa tahun Darut-Turats, Kairo-Mesir. Dan lihat juga Abu Abdullah Muhammad Abdullah bin Ahmad bin Muhammad bin Qudamah, Al-Mughni alaa mukhtashar Abil Qasimumar bin Husein bin Abdullah bin ahmad Al-Khiraqi, najis-najis yang keluar dari dua jalan [depan dan belakang], jilid VIII, hal. 684-685, ditashih oleh DR. Muhammad Khalil Harras, ustadz di fakultas ushuluddin, Al-Azhar, kairo-Mesir.

[29] . Abu Abdullah Muhammad Abdullah bin Ahmad bin Muhammad bin Qudamah, Al-Mughni alaa mukhtashar Abil Qasimumar bin Husein bin Abdullah bin ahmad Al-Khiraqi, najis-najis yang keluar dari dua jalan [depan dan belakang], jilid VIII, hal. 685, ditashih oleh DR. Muhammad Khalil Harras, ustadz di fakultas ushuluddin, Al-Azhar, kairo-Mesir.

[30] . Abu Muhammad ali bin Ahmad bin Said bin Hazm Adh-Dhahiri Al-Andalusi, Al-Muhalla, juz VIII, hal. 35, tahqieq Ahmad Muhammad Syakir, tanpa tahun Darut-Turats, Kairo-Mesir. Dan lihat : Abu Abdullah Muhammad Abdullah bin Ahmad bin Muhammad bin Qudamah, Al-Mughni alaa mukhtashar Abil Qasimumar bin Husein bin Abdullah bin ahmad Al-Khiraqi, najis-najis yang keluar dari dua jalan [depan dan belakang], jilid VIII, hal. 685-686, ditashih oleh DR. Muhammad Khalil Harras, ustadz di fakultas ushuluddin, Al-Azhar, kairo-Mesir.

[31] . DR. Abdul Karim Zaidan, Al-mufashal Fi Ahkamil Mar’ah Wal baitil Muslim Fisy-Syariah Al-Islamiyah, dalam sub judul “Apakah wajib membayar kafarat atas orang yang bersumpah karena dipaksa”. juz II, hal. 418, Muassasah Ar-Risalah, cet. I, tahun 1413/H-1993/M, Beirut-Libanon.

[32] . Abu Abdullah Muhammad Abdullah bin Ahmad bin Muhammad bin Qudamah, Al-Mughni alaa mukhtashar Abil Qasimumar bin Husein bin Abdullah bin ahmad Al-Khiraqi, najis-najis yang keluar dari dua jalan [depan dan belakang], jilid VIII, hal. 734, ditashih oleh DR. Muhammad Khalil Harras, ustadz di fakultas ushuluddin, Al-Azhar, kairo-Mesir.

[33] . Abu Abdullah Muhammad Abdullah bin Ahmad bin Muhammad bin Qudamah, Al-Mughni alaa mukhtashar Abil Qasimumar bin Husein bin Abdullah bin ahmad Al-Khiraqi, najis-najis yang keluar dari dua jalan [depan dan belakang], jilid VIII, hal. 734-737, ditashih oleh DR. Muhammad Khalil Harras, ustadz di fakultas ushuluddin, Al-Azhar, kairo-Mesir.

[34] . Abu Abdullah Muhammad bin Ahmad Al-Anshari Al-Qurtubi, al-Jami’ Liahkamil Qur’an, jilid VI, hal. 477, cet. I, tahun 1414/H-1994/M, Darul Hadits, Kairo-Mesir.

[35] . DR. Abdul Karim Zaidan, Al-mufashal Fi Ahkamil Mar’ah Wal baitil Muslim Fisy-Syariah Al-Islamiyah, dalam sub judul “Apakah membayar kafarat dengan mengeluarkan harganya” juz II, hal. 400, Muassasah Ar-Risalah, cet. I, tahun 1413/H-1993/M, Beirut-Libanon.

Abu Abdullah Muhammad Abdullah bin Ahmad bin Muhammad bin Qudamah, Al-Mughni alaa mukhtashar Abil Qasimumar bin Husein bin Abdullah bin ahmad Al-Khiraqi, najis-najis yang keluar dari dua jalan [depan dan belakang], jilid VIII, hal. -738, ditashih oleh DR. Muhammad Khalil Harras, ustadz di fakultas ushuluddin, Al-Azhar, kairo-Mesir.

[36] . Abu Abdullah Muhammad Abdullah bin Ahmad bin Muhammad bin Qudamah, Al-Mughni alaa mukhtashar Abil Qasimumar bin Husein bin Abdullah bin ahmad Al-Khiraqi, najis-najis yang keluar dari dua jalan [depan dan belakang], jilid VIII, hal. -739, ditashih oleh DR. Muhammad Khalil Harras, ustadz di fakultas ushuluddin, Al-Azhar, kairo-Mesir.

[37] Abu Abdullah Muhammad Abdullah bin Ahmad bin Muhammad bin Qudamah, Al-Mughni alaa mukhtashar Abil Qasimumar bin Husein bin Abdullah bin ahmad Al-Khiraqi, najis-najis yang keluar dari dua jalan [depan dan belakang], jilid VIII, hal. 742-743, ditashih oleh DR. Muhammad Khalil Harras, ustadz di fakultas ushuluddin, Al-Azhar, kairo-Mesir.

[38] . Abu Abdullah Muhammad Abdullah bin Ahmad bin Muhammad bin Qudamah, Al-Mughni alaa mukhtashar Abil Qasimumar bin Husein bin Abdullah bin ahmad Al-Khiraqi, najis-najis yang keluar dari dua jalan [depan dan belakang], jilid VIII, hal. 743-745, ditashih oleh DR. Muhammad Khalil Harras, ustadz di fakultas ushuluddin, Al-Azhar, kairo-Mesir. Dan lihat : DR. Abdul Karim Zaidan, Al-mufashal Fi Ahkamil Mar’ah Wal baitil Muslim Fisy-Syariah Al-Islamiyah, dalam sub judul “salah satu dari kafarat sumpah adalah memerdekakan hamba sahaya” juz II, hal. 420, Muassasah Ar-Risalah, cet. I, tahun 1413/H-1993/M, Beirut-Libanon.

[39] . Abu Abdullah Muhammad Abdullah bin Ahmad bin Muhammad bin Qudamah, Al-Mughni alaa mukhtashar Abil Qasimumar bin Husein bin Abdullah bin ahmad Al-Khiraqi, najis-najis yang keluar dari dua jalan [depan dan belakang], jilid VIII, hal. 752, ditashih oleh DR. Muhammad Khalil Harras, ustadz di fakultas ushuluddin, Al-Azhar, kairo-Mesir.

[40] . Abu Abdullah Muhammad Abdullah bin Ahmad bin Muhammad bin Qudamah, Al-Mughni alaa mukhtashar Abil Qasimumar bin Husein bin Abdullah bin ahmad Al-Khiraqi, najis-najis yang keluar dari dua jalan [depan dan belakang], jilid VIII, hal. 752, ditashih oleh DR. Muhammad Khalil Harras, ustadz di fakultas ushuluddin, Al-Azhar, kairo-Mesir. Dan lihat juga ¨ DR. Abdul Karim Zaidan, Al-mufashal Fi Ahkamil Mar’ah Wal baitil Muslim Fisy-Syariah Al-Islamiyah, dalam sub judul “Salah satu dari kafarat sumpah adalah berpuasa tiga hari berturut-turut”. juz II, hal. 421, Muassasah Ar-Risalah, cet. I, tahun 1413/H-1993/M, Beirut-Libanon.

[41] . DR. Abdul Karim Zaidan, Al-mufashal Fi Ahkamil Mar’ah Wal baitil Muslim Fisy-Syariah Al-Islamiyah, dalam sub judul “Salah satu dari kafarat sumpah adalah berpuasa tiga hari berturut-turut”. juz II, hal. 421, Muassasah Ar-Risalah, cet. I, tahun 1413/H-1993/M, Beirut-Libanon. Dan lihat : An-Nihayah milik ibnu atsir, juz IV, halaman 257.

[42] . Abu Abdullah Muhammad bin Ahmad Al-Anshari Al-Qurtubi, al-Jami’ Liahkamil Qur’an, jilid III, hal.99-100, cet. I, tahun 1414/H-1994/M, Darul Hadits, Kairo-Mesir.

[43] . Abu Abdullah Muhammad Abdullah bin Ahmad bin Muhammad bin Qudamah, Al-Mughni alaa mukhtashar Abil Qasimumar bin Husein bin Abdullah bin ahmad Al-Khiraqi, najis-najis yang keluar dari dua jalan [depan dan belakang], jilid VIII, hal. 686-687, ditashih oleh DR. Muhammad Khalil Harras, ustadz di fakultas ushuluddin, Al-Azhar, kairo-Mesir.

1 komentar: