create your own banner at mybannermaker.com!

Selasa, 18 Oktober 2011

NAHIY

NAHIY

A. Latar Belakang

Betapa kemilaunya ajaran Islam. Begitu rinci tuntunan Allah dan Rasul-Nya dalam setiap detilnya. Dalam hal yang bersifat duniawi, secara asal, semuanya dibolehkan. Jika terdapat larangan dari al-Quran dan as-sunnah barulah ia dikecualikan. Berbeda dengan perkara ibadah. Prinsip awalnya, segala sesuatu yang berkenaan dengan ibadah diharamkan, kecuali ada dalil yang menerangkan syariatnya.

Telah ditetapkan bahwa hukum syar’i itu adalah Kitab (titah) Allah, yang berhubungan dengan perbuatan mukallaf dalam bentuk tuntutan, pilihan dan ketentuan. Kitab dalam bentuk tuntutan ada dua bentuk yaitu tuntutan yang mengandung beban hukum untuk dikerjakan disebut perintah (amar) dan tuntutan yang mengandung beban hukum untuk ditinggalkan yang disebut dengan larangan (nahi). Dalam kesempatan kali ini, saya akan sedikit menjabarkan masalah nahi dan hal-hal yang berkaitan dengannya dalam makalah ini.

B. Definisi Nahiy Dan Bentuk Lafalnya

Nahiy dalam bahasa artinya mencegah, melarang ( المنع ) dan dapat diartikan sama dengan lafal aql ( العقل ),[1] artinya al-nuhyah (larangan / النّهية ).

Sedang menurut istilah, nahiy adalah: perintah meninggalkan suatu perbuatan, dari atasan kepada bawahan.

Adapun bentuk-bentuk lafal yang menunjukkan arti larangan itu adalah:[2]

1. Berbentuk Fiil Nahiy, seperti :

كنت نهيتكم عن زيارة القبور فزورها . رواه مسلم

“ Aku telah melarang berziarah Kubur, maka berziarahlah sekarang.” (HR. Muslim)

2. Berbentuk Fiil Mudhori’ yang didahului dengan Lam Nahiy.

لا تَأْكُلُوا الرِّبَا أَضْعَافًا مُضَاعَفَةً ... (١٣٠)

“ Janganlah kamu memakan Riba dengan berlipat ganda.” (QS. Ali Imron: 130)

3. Berbentuk lafal yang didalamnya megnandung arti larangan, seperti:

- Lafal harama, seperti:

.....حرّمت عليكم الميتة والدّم ولحم الحنزير....

“ Telah diharamkan bagi kamu bangkai dan darah dan daging babi ....”

- Lafal Karaha, seperti:

....فإن كرهتموهنّ

“....Maka jika kamu sekalian membenci wanita-wanita..”.

C. Makna Shighat Nahiy

Para ulama ushul sepakat bahwa hakikat dalam nahiy adalah untuk menuntut meninggalkan sesuatu, tidak bisa beralih makna kecuali ada suatu qarinah. Namun mereka berbeda pendapat tentang hakikat tuntutan untuk meninggalkan larangan tersebut, apakah hakikatnya untuk tahrim, karahah, atau untuk keduanya, berikut penjelasanya:

1. Menurut jumhur, hakikatnya itu untuk tahrim, bukan karahah. Tidak bisa menunjukkan makna lain, kecuali dengan qarinah.

2. Pendapat kedua, nahyi yang tidak disertai qarinah menunjukkan karahah.

3. Menurut pendapat ketiga, musytarak antara tahrim dan karahah, baik isytirak lafzhi maupun isytirak maknawi.

4. Hakikat tuntutan nahi itu tasawuf.

Dari keempat pendapat tersebut, yang dipandang kuat adalah pendapat jumhur.[3]

D. Tuntutan (Penunjukkan) Nahiy

Dalam hal ini, Al Ghazaliy dan Al Amidiy mengatakan ada 7 macam:

1. Untuk hukum Haram. Umpamanya firman Allah dalam QS. Al Isra’: 33

وَلا تَقْتُلُوا النَّفْسَ الَّتِي حَرَّمَ اللَّهُ إِلا بِالْحَقِّ

“ Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya), melainkan dengan suatu (alasan) yang benar.”

2. Untuk makruh. Umpamanya sabda Nabi SAW:

لايمسّنّ أحدكم ذكره بيمينه وهويبول.

“ Diantara kamu sekalian jangan memegang kemaluannya degan tangan kanan ketika buang air kecil.”

3. Untuk mendidik ( إرشاد ), firman Allah dalam QS. Al Maidah: 101:

لا تَسْأَلُوا عَنْ أَشْيَاءَ إِنْ تُبْدَ لَكُمْ تَسُؤْكُمْ

“ Janganlah kamu menanyakan (kepada Nabimu) hal-hal yang jika diterangkan kepadamu akan menyusahkan kamu.”

4. Untuk Doa, Firman Allah dalam QS. Ali Imron: 8

رَبَّنَا لا تُزِغْ قُلُوبَنَا بَعْدَ إِذْ هَدَيْتَنَا

"Ya Tuhan Kami, janganlah Engkau jadikan hati Kami condong kepada kesesatan sesudah Engkau beri petunjuk kepada Kami"

5. Untuk merendahkan ( تحقير ), Firman Allah dalam QS. Al Hijr: 88

لا تَمُدَّنَّ عَيْنَيْكَ إِلَى مَا مَتَّعْنَا بِهِ أَزْوَاجًا مِنْهُمْ

“ Janganlah sekali-kali kamu menunjukkan pandanganmu kepada kenikmatan hidup yang telah Kami berikan kepada beberapa golongan di antara mereka (orang-orang kafir itu)”.

6. Untuk penjelasan akibat ( بيان العاقبة ), Firman Allah dalam QS. Ibrahim: 42

وَلا تَحْسَبَنَّ اللَّهَ غَافِلا عَمَّا يَعْمَلُ الظَّالِمُونَ

“ Dan janganlah sekali-kali kamu (Muhammad) mengira, bahwa Allah lalai dari apa yang diperbuat oleh orang-orang yang zalim. “

7. Untuk keputus asaan ( اليأس ) Firman Allah dalam QS. At Tahrim: 7

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ كَفَرُوا لا تَعْتَذِرُوا الْيَوْمَ

“ Hai orang-orang kafir, janganlah kamu mengemukakan uzur pada hari ini.”

E. Pembagian Nahiy

Nahiy dapat dibagi menjadi 2 macam:

1. Nahiy Mutlak, yaitu suatu larangan yang tidak terbatas kepada waktu atau keadaan dan berlaku untuk selama-lamanya.

2. Nahiy Muqayyad, yaitu larangan yang terbatas dengan waktu atau keadaan.

Adapun untuk mengetahui perbuatan hukum yang mana yang dianggap sah dan yang dianggap batal, hal ini dapat diketahui melalui ke-4 macam pembagian larangan, yaitu:

1. Larangan yang ditujukan kepada hal-hal yang selalu berhubungan dengan suatu perbuatan hukum. Cohtohnya: larangan bertransaksi jual beli saat adzan jum’ah berkumandang.

2. Larangan yang ditujukan kepada hal-hal yang tidak dapat dipisahkan dari suatu perbuatan hukum. Contohnya: larangan berpuasa di dua hari raya.

3. Larangan yang ditunjuk langsung pada sebagian perbuatan hukum. Contohnya: Larangan jual beli barang yang belum diketahui barangnya, seperti jual beli kambing yang masih dalam kandungan induknya dan sebagiannya.

4. Larangan yang ditujukan langsung pada perbuatan hukum itu sendiri. Contohnya: larangan puasa bagi seroang wanita yang sedang haidl atau nifas atau berhadats besar.

Dari ke-4 pembagian tersebut, dapat diambil kesimpulan bahwa pembagian larangan (nahiy) yang ada pada nomor 4 dianggap sah, sekalipun melanggar larangan, sebab larangnya hanya tertuju pada hal-hal yang keberadaannya di luarnya (amr al-kharij). Sedangkan larangan yang ada pada nomor 1, 2, dan 3 berstatus hukum tidak sah atau batal.

F. Kaidah-kaidah Nahiy

1. Tiap-tiap larangan asalnya haram

Pada asalnya nahiy itu mempunyai ketetapan haram.

2. Larangan haram, jadi “makruh”

Larangan yang asalanya “haram” dapat berubah menjadi makruh, jika da dalil yang mengubahnya. Seperti: “ Janganlah kamu memakai sutera..” (HR. Bukhari)

3. Larangan haram jadi do’a

Larangan-larangan yang pada asalanya “haram” dapat berubah menjadi sebagai “doa”, jika ada jalan atau keterangannya.

4. Tiap-tiap larangan untuk selamanya

Tiap-tiap larangan yang terlepas, yaitu yang tidak bersyarat, pada asalnya wajib dijajuhi untuk selamanya, yakni haram dikerjakannya di semua masa. Seperti QS. Al Baqarah: 195):

وَلا تُلْقُوا بِأَيْدِيكُمْ إِلَى التَّهْلُكَةِ (١٩٥)

“ Dan belanjakanlah (harta bendamu) di jalan Allah, dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan.”

5. Larangan yang selamanya jadi sementara

Larangan-larangan yang asalnya mesti ditinggalkan untuk selama-lamanya, dapat berubah menjadi terbatas untuk “sementara” waktu, jika ada keterangan yang menunjukkan ke situ. Seperti Firman Allah SWT dalam QS. An Nisa’: 43;

لا تَقْرَبُوا الصَّلاةَ وَأَنْتُمْ سُكَارَى حَتَّى تَعْلَمُوا مَا تَقُولُونَ

“ Janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam Keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan.”

6. Lafazh khabar jadi larangan

Dalam Al Qur’an dan Hadits, terdapat beberapa perkataan yang bentuknya sebagai khabar, tetapi maksudnya “larangan”. Seperti sabda Nabi SAW:

لا ضرر ولا ضرار

“ Tidak ada bahaya dan tidak ada pembalasan bahaya. (HR. Ahmad dan Lainnya).[4]

G. Nahi atas Beberapa Pilihan (Alternatif) Larangan

Bila Amr kadang ditujukan atas sesuatu dari beberapa pilihan, nahi-pun kadang ditujukan terhadap sesuatu dari beberapa pilihan. Baik itu ditujukan untuk salah satu atau semuanya dari beberapa pilihan. Berikut pendapat beberapa ulama:

1. Jumhur ulama berpendapat bahwa larangan hanya berlaku untuk salah satu dari beberapa larangan pilihan. Alasanya adalah bahwa nahi sama dengan amr, dalam hal keharusan meninggalkan. Bila seseorang disuruh untuk bersedekah 100 atau 1000, maka tidak wajib melakukan keduanya.

2. Golongan Mu’tazilah berpendapat bahwa nahi tersebut menghendaki meninggalkan keseluruhan yang dilarang. Pendapat ini juga di ikuti oleh al-Jurjani. Alasan golongan ini adalah:

- Firman Allah dalam QS. Al Insan: 24;

فَاصْبِرْ لِحُكْمِ رَبِّكَ وَلا تُطِعْ مِنْهُمْ آثِمًا أَوْ كَفُورًا (٢٤)

“ Maka bersabarlah kamu untuk (melaksanakan) ketetapan Tuhanmu, dan janganlah kamu ikuti orang yang berdosa dan orang yang kafir di antar mereka.”

Meskipun larangan dalam ayat tersebut dinyatakan secara pilihan dengan menggunakan kata penghubung “atau”, namun ayat itu berarti tidak boleh mematuhi mereka yang berdosa dan juga tidak boleh yang kufur.

- Dalam menjauhi kedua hal yang dilarang itu terdapat tindakan yang lebih hati-hati sehingga sama sekali terhindar dari dosa.[5]

H. Hubungan Timbal Balik Antara Amar dan Nahi

Amar tentang sesuatu berarti tuntutan mengerjakan sesuatu itu. Sedangkan nahi atas sesuatu berarti tuntutan menjauhi sesuatu itu. Apabila suatu perbuatan disuruh untuk dikerjakan apakah berarti sama dengan kebalikannya berupa larangan untuk meninggalkan perbuatan tersebut. Atau dengan kata lain, apakah amar tentang sesuatu sama dengan nahi terhadap lawan sesuatu itu.

Sebelumnya perlu dijelaskan mengenai bentuk lawan dari suatu kata. Bentuk pertama adalah lafadz yang hanya mempunyai satu lawan kata. Bentuk yang seperti ini disebut (alternatif). Umpamanya lawan kata bergerak adalah diam. Bentuk kedua adalah lafadz yang lawan katanya lebih dari satu, disebut (kontradiktif). Umpamanya, lawan kata berdiri adalah duduk, berbaring, jongkok dan sebagainya.

1. Segolongan ulama, diantaranya ulama Hambali, berpendapat bahwa bila datang larangan mengerjakan satu perbuatan dan ia hanya mempunyai satu lawan satu kata, berarti disuruh melakukan lawan kata dari segi artinya. Misalnya, dilarang bergerak berarti disuruh untuk diam. Bila lawan kata dari yang dilarang itu banyak berarti disuruh melakukan salah satu dari lawan katanya. Mereka mengemukakan alasan bahwa bila dilarang melakukan sesuatu perbuatan berarti wajib meninggalkannya dan tidak mungkin meninggalkannya kecuali dengan cara melakukan salah satu diantara lawan-lawan kata tersebut.

2. Banyak ulama, diantaranya Imam Haramain, al-Ghazali, al-Nawawi, al-Jufani dan lainnya berpendapat bahwa amar nafsi (tentang sesuatu yang tertentu), baik hukumnya wajib atau nadb bukanlah berarti larangan mengerjakan lawan sesuatu itu dan juga tidak merupakan kebiasaan bagi lawannya baik larangan itu menghasilkan hukum haram/karahah, baik lawan kata itu satu atau lebih dari satu.[6]

I. Hubungan Nahi dengan Pelanggaran Perbuatan yang Dilarang

Setiap Nahi menghendaki ditinggalkannnya perbuatan yang dilarang itu. Bila perbuatan itu dilakukannya berarti ia melakukan pelanggaran terhadap yang melarang dan karenanya ia patut menerima dosa atau celaan. Namun bagaimana kedudukan hukum dari perbuatan terlarang yang dilakukan itu. Umpamanya seseorang yang dilarang melakukan sesuatu dalam waktu tertentu, seperti puasa di hari raya idul fitri. Kalau dia melakukan puasa tersebut, apakah puasanya sah atau tidak. Dalam hal ini terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama’;

1. Sebagian ulama’ fiqh dari pengikut Syafi’I, Malik, Abu Hanifah, Hanbali, Zhahiri dan golongan ulama Kalam berpendapat bahwa larangan menuntut tidak sahnya perbuatan yang dilarang itu bila dikerjakan.

2. Golongan Muhaqqiq dari ulama Syafi’iyyah, kebanyakan ulama Hanafi, segolongan ulama Mu’tazilah dan sebagian ulama Syafi’I berpendapat bahwa nahi tidak menunjukkan tidak sahnya perbuatan yang dilarang.

3. Pendapat jumhur ulama dapat dikelompokkan kepada beberapa bentuk larangan menurut jenis perbuatannya, yaitu;

a. Suatu larangan bila berlaku dalam ibadat seperti puasa di hari raya atau hari tasyrik berakibat batalnya puasa yang dilakukan pada hari yang dilarang itu.

b. Bila larangan itu mengenai muamalat dalam arti umum, seperti jual beli, tidak berakibat fasidnya perbuatan yang dilarang jika dilakukan pada saat-saat terlarang selama larangan itu tidak mengenai akad itu sendiri atau unsure dalam atau unsure luarnnya yang merupakan bagian dari kelazimannya.

c. Bila larangan mengenai zat dari akad suatu perbuatan, seperti larangan melemparkankan batu, atau mengenai unsure dalamnya seperti larangan jual beli binatang yang masih dalam perut induknya, maka larangan tersebut berakibat pada fasidnya perbuatan yang dilarang itu bila dilakukan.

J. KESIMPULAN

Dari penjelasan di atas, nahi (larangan) adalah perintah meninggalkan suatu perbuatan, dari atasan kepada bawahan. Jadi, suatu perbuatan tidak bisa dikatakan nahi jika dilakukan oleh bawahan kepada atasan, begitu juga kepada orang yang sama derajatnya.

K. DAFTAR PUSTAKA

Ø al Hasyimiy, Muhammad Ma’shum Zainiy. Ilmu Ushul Fiqih. Jombang: Darul Hikmah, 2008

Ø Syafe’i, Rachmat. Ilmu Ushul Fiqih. Bandung: Pustaka Setia, 2010

Ø Syarifuddin, Amir. Ushul Fiqh Jilid II. Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999

Ø Hassan, Abdul Qadir. Ushul Fiqh. Bangil: Yayasan Al Muslimun, 1992



[1] Dikatakan sama dengan arti akal, sebab akal dapat dipakai untuk mencegah orang yang berakal untuk berbuat salah.

[2] Muhammad Ma’shum Zainiy al Hasyimiy, Ilmu Ushul Fiqih (Jombang: Darul Hikmah, 2008), 227

[3] Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqih (Bandung: Pustaka Setia, 2010), 207

[4] Abdul Qadir Hassan, Ushul Fiqh (Bangil: Yayasan Al Muslimun, 1992), 37 - 40

[5] Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid II (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), 200

[6] Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid II (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), 201

Tidak ada komentar:

Posting Komentar